Vol.3 No.1 Mei 2017 UIJ Kyai Mojo: Jurnal Pendidikan Dan Kajian Aswaja
ISSN: 2460-3325 Universitas Islam Jember
Sebagai
Usaha Membentengi Aqidah
Ahlussunnah Wal Jama’ah Dan Keutuhan NKRI Di Kalangan Kaum Nahdliyyin Dari
Paham Radikal-Sesat Di
Lingkungan Kabupaten Jember Tahun 2016
Oleh
Ahmad Halid
Muhammad Ilyas
Abstrak: Masalah penelitian ini adalah bagaimanakah Analisis Khittah Nahdliy-yah: Sebagai Usaha
Membentengi aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah Dan Keutuhan NKRI Di Kalangan Kaum
Nahdliyyin Dari Paham Radikal-Sesat Di Lingkungan Kabupaten Jember. Jenis penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian studi kasus. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Teknik
pengumpulan
data menggunakan observasi, interview, dokumentasi,
Kuesioner, studi kepustakaan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif
dan reflektif. Teknik
Pengujian Keabsahan Data; metode
triangulasi, metode
diskusi, metode
komparasi, metode penerimaan kritikan. tujuan penelitian untuk mengungkap pemahaman kaum nahdliyyin
terhadap khittah nahdliyyah sebagai sumber rujukan kaum nahdliyyin di dalam
hidup beragama dan bernegara yang baik yang berpijak pada sumber otoritatif
ajaran Islam (al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Qiyas). Kaum
Nahdliyyin yang menjadi obyek dan informan penelitian (LPAI, BM, pengajian
masyarakat di Lingkungan Kabupaten Jember) melakukan pengajian aktif untuk
menegakkan izzul Islam Wal Muslimin (menyesuaikan kehidupan dengan
nilai-nilai ajaran Islam), amar makruf nahi mungkar, menolak paham
radikal-sesat; yang berten-tangan
dengan pengembangan Islam Nusantara, mempertahankan NKRI, serta mencari solusi
yang tepat terhadap prolematika umat kontemporer dengan tetap berpijak pada
Khittah Nahdliyyah.
Keywod: Analisis Khittah
Nahdliyyah, aqidah aswaja, keutuhan NKRI, paham Radikal Sesat,
PENDAHULUAN
Belakangan
ini banyak gerakan kelompok yang dapat meresahkan masyarakat dengan gerakan
paham radikal, bit’ah, takfir, teroris, ISIS. mereka memaksakan kehendak untuk
menghimpun masa bahkan mendok-trin i’tiqad sesat dan menanamkan akhlaq
kebencian anak kepada orang tua dan pemerintah. Orang tua dan pemerintah telah
dianggap sesat dan kafir, karena itu menurut mereka, tidak wajib dihormati bahkan patut dimusuhi
karena berbeda i’tiqad dengan mereka.
Lajnah
Pembinaan Akhlaq Islamiyah (LPAI) sering menghadapi keluhan masyarakat atau
orang tua, mereka mengadukan persoalan aqidah gerakan kelompok kecil yang ada
masyarakat berusaha mendoktrin anak mudah untuk mengkafirkan orang tua dan
tidak patuh kepadanya karena menganggap aqidah yang diyakini orang tua dianggap
sesat sampai mau membunuh orang tua.[1]
Aqidah ahlussunnah yang dimiliki masyarakat dan kecintaan kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dianggap salah, sesat bahkan kafir, termasuk
para ulama berjuang merebut kemerde-kaan RI, perumus pancasila dan UUD 45
dikleam kafir karena menurut mereka telah keluar dari ajaran Islam; tidak
menjadikan al-qur’an sebagai dasar hukum Indonesia.
Menurut
KH. Abdul Hamid Hasbullah (Ketua Lajnah Pembinaan Akhlaq Islamiyah (LPAI)
Kabupaten Jember justru mereka itulah memahami Islam tidak komprehensif, tidak
kaffah, tidak luas, akan tetapi mereka parsial, sempit dan kakuh di dalam
memahami Islam sehingga mereka melaksanakan ajaran Islam sesuai apa yang mereka
pahami sendiri dan hawa nafsunya tampa disertai dengan rujukan pendapat kepada
ulama yang jelas nasab ilmu dan akhlaqnya menyambung pada Rasulullah. Sedangkan
Mereka itu tidak memiliki nasab guru yang jelas, tetapi guru mereka adalah Mba
Geogle dan buku-buku yang tidak jelas penulisnya.[2]
Sejalan dengan pendapat KH Ahmad Sadid Jauhari (Pengasuh Ponpes
As-Sunniyah-Kencong-Jember) beliau menjelaskan bahwa: mereka mengajarkan
i’tiqad sesat, mereka pendatang baru di Negara ini, tidak memahami ulama dan
masyarakat yang berdarah-berdarah dalam meraih kemerdekaan RI. Anehnya kelompok
radikal, bit’ah, takfir itu tidak mau diajak diskusi maupun berdebat untuk
membuk-tikan secara ilmiah tentang keabsahan penggunaan dalil-dalil aqidah,
akhlaq dan pancasila sebagai dasar NKRI yang disepekati para ulama sebagai
dasar hukum Negara Indonesia.[3]
Walaupun
mereka (kelompok radikal) tetap melakukan gerakan secara sembunyi-sembunyi
untuk mengikis aqidah Ahlussunnah dan meracuni warga untuk benci pada Hukum Negara
Indonesia dan diarahkan kepada kecintaan terbentuknya negara Indonesia sebagai
negara Islam atau syariat dan khilafah. Ketika ditelusuri ternyata gerakan itu
adalah didalangi oleh Yahudi bertujuan untuk merusak persatuan umat Islam dan bertujuan
untuk menghancurkan bangsa Indonesia serta bermaksud menguasai potensi dan
kekayaan Negara Indonesia. Tetapi wacana tersebut (ISIS, Radikalisme, NII,
syariat dan khilafah)
itu yang berkembang di Indonesia ternyata telah diketahui penggagasnya adalah
politik asing dan biayanya adalah berasal dari asing (Yahudi). NII ajarannya
menyimpang karena memerintahkan shalat mengha-dap ketimur, tetap menginginkan
Republik Islam Indonesia (RII).[4]
Salah
satu cara yang jitu untuk menangkal dan membendung gerakan kelompok-kelompok
tersebut adalah internalisasi Khittah Nahdiyyah kepada bangsa Indonesia. Khittah
Nahdiyyah telah terbukti mampu menya-tukan aqidah Ahlussunnah dari rongrongan
kelompok yang menyempal dan juga terbukti keampuhannya di dalam menyatukan
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bersatu, kokoh, maju, beradab, Muslim yang
berkarak-ter toleran (tasamuh), tidak ekstrim kanan – kiri (tawassut), adil
(i’tidal) dan amar ma’ruf nahi mungkar. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka
peneliti dalam penelitian ini merasa perlu untuk mengetahui peran Khittah Nahdiyyah
sebagai usaha membentengi aqidah dan persatuan bangsa Indonesia dari paham
radikal serta dapat memberikan solusi yang tepat problematika kekinian yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Jember. Organisasi pembi-naan
masyara-kat LPAI dan Nahdlatul Ulama (NU) terus mengawal aqidah masyarakat dan gerakan
masyarakat yang dapat mengancam keutuhan NKRI (pancasila, UUD 1945) dari
pengaruh radikal-sesat, syariah dan khilafah. Nahdlatul Ulama (NU) adalah
organisasi Diniyyah yang bergerak diberbagai bidang kehidupan masyarakat
seperti bidang agama, sosial, budaya, ekonomi, Negara dan sebagainya. Sedangkan
LPAI adalah Lajnah Pembinaan Akhlaq Islamiyah yang bergerak pada pembinaan
umat, merespon problematika kekinian, penegakan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta
menjaga keutuhan NKRI dengan bersama-sama organisasi atau kelompok masyarakat, elemen
pesantren, pendidikan, masyarakat dan pihak pemerintah Daerah (Bupati-Dinas- Kecamatan-
Kelurahan) serta bersama kepolisian (Kapolres, Polsek, Dandim, Kodim, Tepbek)
dan seterusnya.
Karena
itu, Rumusan Masalah Bagaimanakah
Analisis Khittah Nahdliy-yah Sebagai Usaha Membentengi Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah
dan Keutuhan NKRI di Kalangan Kaum Nahdiyyin Dari Paham Radikal-Sesat di
Lingkungan Kabupaten Jember. Apabila dirinci dan dioperasionali-sasikan menjadi beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana pengetahuan Nahdliyyin
terhadap Khittah Nahdliyyah dan aqidah ahlussunnah, paham radikal-sesat yang
berkembang pada masyarakat di Lingkungan Kabupaten Jember?
b. Bagaimana pemahaman Kaum
Nahdliyyin terhadap Khittah Nahdli-yyah dan hubungannya terhadap aqidah
ahlussunnah, keutuhan NKRI di Lingkungan Kabupaten Jember?
c. Bagaimana konsep Khittah
Nahdiyyah dalam mempertahankan Indo-nesia sebagai negara Hukum yang berdasar
pada Pancasila dan UUD 1945 di Lingkingun Kabupaten Jember dan bagaimana
pandangan Kaum Nahdliyyin kepadanya?
d. Bagaimana Metode Kaum
Nahdliyyin dalam memahami aqidah Ahlus-sunnah Wal Jama’ah dan menginternalisasi
Khittah Nahdliyyah kepada Kaum Nahdliyyin?
e.
Bagaimana Khittah
Nahdiyyah dan Nahdlatul Ulama menjadikan Generasi muda Kaum Nahdliyyin memiliki
sikap Nasionalisme?
f.
Bagaimana Hubungan Kaum
Nahdliyyin dengan kelompok Radikal Sesat dalam konteks bernegara?
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian
Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-fenomenologis
yaitu berusaha memahami perilaku-perilaku manusia ‘apa yang dikatakan, dilakukan dan diimani orang-orang sebagai
produk dan orang tersebut menafsirkan dunianya, peneliti dapat
menginterpretasikan gelaja tersebut tidak hanya basil pengamatan sendiri, melainkan memandang
sesuatu dan sudut pandang orang lain. Jenis
penelitian ini adalah
menggunakan jenis penelitian studi kasus artinya kegiatan yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh, penuh perhatian terhadap
sesuatu fenomena aktual yang menjadi
fokus perhatian.
Lokasi Penelitian
Peneliti mengambil obyek penelitian Lajnah Pembinaan Akhkaq
Islamiyah (LPAI) Jember berlokasi di lingkungan Kabupaten Jember karena LPAI
pengajiannya sekecamatan yang ada di Kabupaten Jember, Kecamatan Patrang
menjadi lokasi pengambilan informan penelitian pada kelompok Kaum Nahdliyyin
yang melakukan pengajian rutin di Lingkungan.
Teknik Penentuan Informan
Penelitian kualitatif lebih menekankan pada kedalaman informasi yang diperolehnya. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat, organisasi keagamaan,
kelompok pengajian rutin,
para Kyai, dan Kepolisian yang ada di kabupaten Jember.
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian
ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui teknik Observasi, Teknik
Wawancara, teknik
Dokumentasi,
Kuesioner, Studi Kepustakaan
Teknik Analisis Data
Analisis
data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan reflektif dengan mengembangkan
teori Miles dan Huberman[5]
sebagai berikut
PEMBAHASAN
Profil Obyek Penelitian
1.
Lajnah Pembinaan Akhlaq
Islamiyah (LPAI) Jember
Latar
mula terbentuknya organisasi masyarakat “LPAI” Jember adalah pertama,
Reaksi dari kristenisasi masyarakat kabupaten Jember; banyak Gereja berdiri
tampa persyaratan perijinan, banyak umat Islam bersekolah diluar sekolah Islam,
banyak umat Islam masuk Kristen karena ekonomi lemah. Kedua, Banyak
tumbuh berkembang aliran Radikal-Sesat: mengkafirkan, membid’akan dan menolak
pancasila, UUD 1945 serta mengancam keutuhan NKRI, karena itu, sangat perlu
untuk mempertahankan usaha-usaha ulama terdahulu dalam mengem-bangkan ajaran
Islam ala aswaja dan bernegara ala aswaja. Ketiga, kemaksiatan
merajalela di Kabupaten Jember; dapat meresahkan masyarakat Islam, dan
eksploitasi SDA, SDM yang tidak mengun-tungkan masyarakat setempat justru ber-dampak negative
bagi generasi umat.
Oleh
sebab itu para Ulama Jember bersama semua elemen masyarakat dan pemerintah
turun tangan menyelesaikan keresahan-keresahan tersebut, sehingga para Kyai dan
para tokoh masyarakat berkumpul untuk memusyawarakan persoalan-persoalan
keumatan tersebut, musyawarah tersebut melahirkan organisasi “LPAI” (Lajnah
Pembinaan Akhlaq Islamiyah) Jember sebagai wadah apresiasi masya-rakat untuk melakukan amar makruf
nahi mungkar diprakarsai
oleh KH Yusuf Muhammad (Gus Yus) Pengasuh PP Darus Shalah (cucu KH Muhammad
Shidiq Talangsari Jember) pada Tahun 1990 M. Ketua dipercayakan
kepada KH, Abdul Hamid
Hasbullah (sampai sekarang), para ulama Jember tidak ada yang mau menggantikan
Kyai Abdul Hamid Hasbullah, dipandang beliaulah yang sangat pas dan mampu
memimpin LPAI.
Pengajian
LPAI dilaksanakan setiap bulan tepatnya hari Jumat Legi (jum’at manis) jam
13:30–17.00 anggota pengajian dari berbagai organisasi/kalangan yang ada di
Kabupaten Jember, diantaranya adalah masyarakat sipil, takmir Masjid, Ulama
(Kyai pesantren) Jember, Kyai Mushalla, MUI Jember dan pemerintahan: Bupati
bersama jajarannya (kedinasan), DPRD bersama Jajarannya, Kapolres-kapolsek
bersama jajarannya, DANDIM dan sebagainya. Inti kegiatannya adalah:
-
Pembacaan Rotibul Haddad
-
Shalawat Nabi
-
Sambutan Tuan Rumah
-
Shalat Ashar berjama’ah
-
Kajian Kitab Hadis (Riyadusshalihin)
-
Dialog keummatan (mengenahi semua aspek kehidupan).
Visi LPAI Jember
Menjadi organisasi masyarakat Islam yang
terkemuka dan mampu bersaing menyebarkan Ajaran Islam diberbagai bidang,
berbasis Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dan berkomitmen menegakkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 serta menjaga keutuhan NKRI.
Misi LPAI Jember
Misi
merupakan penjabaran visi LPAI dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban, tanggung
jawab, dan rancangan tindakan yang digunakan untuk pengembangan organisasi /
Dakwah Islamiyah. Misi ini menjadi penciri organisasi masyarakat (LPAI).
Berdasarkan visi tersebut, misi yang dilaksanakan adalah sebagai berikut.
1. Melaksanakan ajaran Islam berbagai bidang kehidupan dengan
memanfaat-kan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi
berbasis
Nilai-nilai keislaman sehingga
peserta LPAI mampu berkreasi,
berinovasi
dan
beradaptasi
dalam berdakwah dengan baik.
2. Melaksanakan pengajian berbasis Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dan
berorientasi pembinaan akhlaq islamiyah
3. Melaksanakan amar makruf nahi mungkar dengan
bekerja sama dengan para ulama, umara dan pihak lain yang terkait serta menerapkan hasil-hasil usahanya bersama di bidang terkait
4. Melaksanakan
pengkajian (dakwah) dan mencari solusi terhadap problematika umat serta
memberikan layanan bimbingan yang prima berorientasi pada pengembangan aqidah,
fiqh dan akhlaq islamiyah supanya tercipta aman, damai harmonis dan menjadi baldatun
thayyi-batun wa rabbun ghafur.
5. Melaksanakan pengembangan potensi
diri masyarakat di bidang pemaha-man ajaran Islam berbasis
Ahlus-sunnah Wal Jama’ah
6. Memelihara
kondisi LPAI yang bersih, nyaman dan aman, serta suasana pengajian/ kajian yang
kondusif dan demokratis secara berkelanjutan untuk mengembangkan ajaran Islam
berbasis Ahlus-sunnah Wal Jama’ah dan tegaknya pancasila, Undang-Undang Dasar
1945 dan utuhnya NKRI.
Tujuan LPAI Jember
Tujuan
umum yang hendak dicapai LPAI selama kurun waktu pencapaian visi tahun 2021
adalah menyelenggarakan pembinaan akhlaq yang berkualitas tinggi untuk
menghasilkan sosok utuh umat Islam yang memiliki karakter dan kompetensi yang
luas pada pemahaman ajaran Islam basis Ahlussunnah Wal Jama’ah menerapkan
pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menjaga keutuhan NKRI. Secara
khusus tujuan LPAI adalah sebagai berikut.
1. Menghasilkan pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam berbagai bidang kehidupan dengan
memanfaatkan
kemajuan
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
berbasis
Nilai-nilai keislaman sehingga
peserta LPAI mampu berkreasi,
berinovasi
dan
beradaptasi
dalam berdakwah dengan baik.
2. Menghasilkan pengajian
yang bermutu berbasis Islam
Ahlus-sunnah
Wal Jama’ah dan berorientasi
pada pembi-naan akhlaq islamiyah,
3. Menghasilkan
Amar Makruf Nahi Mungkar dengan bekerja sama dengan ulama dan umara dan penerapan
hasil-hasil usahanya bersama bidang terkait
4. Menghasilkan
pengajian, pengkajian (dakwah) dan mencari solusi yang tepat terhadap
problematika umat serta membe-rikan layanan bimbingan yang prima berorientasi
pada pengembangan aqidah, fiqh dan akhlaq islamiyah ala Ahlussunnah Wal Jama’ah
5. Menghasilkan pengembangan potensi diri masyarakat di bidang pemaha-man ajaran Islam berbasis
Ahlussunnah Wal Jama’ah
Menghasilkan
kondisi LPAI yang bersih, nyaman dan aman, serta suasana pengajian/ kajian yang
kondusif dan demokratis secara berkelanjutan untuk mengembangkan ajaran Islam
berbasis Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tegaknya pancasila, Undang-Undang Dasar
1945 dan utuhnya NKRI.
2.
Bahtsul Masail
Bahtsul Masail (BM)
adalah kelompok pengajian yang dilakukan secara rutin oleh Kaum Nahdiyyin dalam
rangka membahas masalah-masalah kekinian yang berkaitan dengan hukum Islam baik
aqidah, syariah dan akhlaq dan isu-isu kontemporer dan kebangsaan didasarkan
pada penela’ahan pada kitab kuning yang ditulis ulama’ timur tengah klasik
maupun kitab yang ditulis ulama Indonesia. Bahtsul Masail merupakan tradisi
pengembangan keilmuan kaum Nahdliyyin, sangat berkembang dikalangan kaum
Nahdiyyin mulai dari Bahtsul Masail tingkat Kabupaten, Kecamatan dan kelurahan
/ Desa rutin melakukan pengkajian pada Kitab Kuning dan mencari solusi problem
keummatan. Kelompok kecil ini (bahtsul masail Dusun) disamping belajar alim
agama juga bertujuan melatih ketangkasan membaca kitab kuning dan kecerdasan
menyelesaikan masalah. Pesertanya beragam, mulai dari santri yang sudah
memiliki basis kitab kuning, santri setengah bisa baca kitab kuning dan
santri/kaum Nahdiyyin sama sekali tidak bisa baca kitab kuning, tetapi memiliki
kemauan keras untuk paham agama dan bisa baca kitab kuning.
Baca Kitab Kuning hal
yang biasa dikalangan Nahdliyyin dalam rangka pencarian solusi yang tepat pada
problematika yang dihadapi Nahdliyyin
pada semua sektor kehidupan. Kelompok baca kitab kuning ini adakalanya
berasal dari ikatan alumni suatu pesantren, ikatan pelajar maupun kelompok
pengajian di desa. Output pengajian baca kitab kuning yang berasal dari ikatan
alumni suatu pesantren atau masyarakat desa lebih banyak pada proses
pembelajaran “ingin tahu’ baca kitab kuning. Pembelajaran basis Kitab Kuning bagi Kaum Nahdliyyin ini agar lebih tepat sasaran, maka perlu
upaya-upayah untuk menyempurnakan organisasinya, diselenggarakan dengan baik dan sistematis, sehingga dapat dipahami pesertanya (kaum Nahdliyyin) lebih mudah dan praktis dan bukan sesuatu yang
menakutkan atau sesuatu yang dibenci. Berbeda dengan baca kitab kuning di LPAI
dan LBMNU merupakan benar-benar pencarian solusi kemumatan berpijak pada sumber
otoritatif (al-Qur’an dan al-Hadis).
3.
Ikatan Tamir Masjid Dan Mushalla Jember.
Organisasi yang berada
pada aktifitas kemasjidan, memiliki aktifitas pengajian rutin dalam rangka
membina anak muda supaya memiliki kecintaan dan kepedulian pada masjid dan
dakwa islamiyah, mencegah kenakalan remaja serta aktifitas yang dilakukan untuk
menjaga aqidah dan akhlaq mulia pemuda, membangkitkan semangan perjuangan para
pemuda. Mushalla juga berfungsi sebagaimana masjid pada umumnya, menjadi pusat
pendidikan anak-anak (Kaum Nahdliyyin) yang diasuh oleh Kyai langgar[7],
ia juga tokoh masyarakat yang berpengaruh ditengah-tengah masyarakat memiliki
ilmu agama yang luas. Pendidikan mushalla mengajarkan pendidikan agama secara
dasar seperti mengajarkan anak ilmu al-qur’an, ilmu akhlaq, fiqh dan ilmu
aqidah.
Adanya ikatan takmir
masjid dan mushalla ini, para kyai yang mengurus masjid dan kyai langgar
bersama-sama ikut memikirkan dan membentengi aqidah ahlussunnah wal jama’ah
dari kelompok-kelompok tertentu yang berbeda dengan aqidah ahlussunnah.
Adapun pengurus Ikatan Takmir Masjid dan
Mushalla adalah
Pembina :
KH. Abdul Hamid Hasbullah
Ketua :
H. Bambang Budi Soesetyo
Sekretaris :
Edy Prasetyo PD
Bendahara :
M. Aturi
Humas : H. Imron
Dakwa dan social :
Muhammad.[8]
4.
Pengajian Di Lingkungan
Kelurahan Patrang
Kelompok yang ada di
lingkungan Cangking Kelurahan Patrang adalah Pengajian al-Ikhlas Pengajian
Nurul Hidayah, pengajian al-Hidayah dan Pengajian RW dikelurahan (18 RW).
Kelompok pengajian ini adalah pengajian kaum nahdliyyin tetapi ada sebagian
kecil dari luar kaum Nahdliyyin, mereka ikut untuk menjaga kerukunan umat dan
juga tidak membeda-bedakan umat Islam. Agenda pengajiannya antara lain:
- Belajar membaca al-Qur’an,
- Yasinan dan Tahlil
- Ceramah agama
- Doa bersama.[9]
Pengurus Pengajian di Lingkungan Cangkring Patrang
Pelindung : 1. Lurah Patrang
: 2. Ketua RW 004
: 3. Ketua RT 1,2 dan 3
Pembina : 1. KH. Much. Faisol
: 2. Kyai Zainullah
Ketua : Sugianto
Sekretaris : Muhammad Faqih
Bendahara :
Agus Riyanto
Sesi-sesi
1. Dakwah :
Sunarto
2. Perlengkapan :
Abu Nahrawi
3. Humas : Deni Widiyanto.[10]
Hasil Penelitian
Konstruksi Pemahaman
Kaum Nahdliyyin tentang paham Radikal-Sesat
Diskursus kaum Nahdliyyin
tentang Negara Islam Indonesia
sudah dikaji
(bahtsul masail) sejak
lama menjalang kemerdekaan Indonesia
dari para penjajah. Ulama
dari kalangan Nahdliyyin menolaknya dan penolakan itu secara jelas
tentang Darul Islam Indonesia tampak pada saat muktamar NU di Situbondo dengan
penegasan oleh KH Ahmad Shiddiq bahwa NU menerima pancasila sebagai dasar NKRI.
Namun peneriman tersebut diwarnahi pro kontra, sebagian Ulama NU ada yang tidak
setuju dengan NU menerima pancasila, karena dianggap pemikiran yang liberal -
radikal, begitu juga sebagian Ulama NU
tidak setuju pengurus NU diisi oleh anak-anak NU yang dianggap Radikal
atau Liberal. Tampa disadari pemikiran “Radikal” tumbuh dan
berkembang di
tengah-tengah kaum Nahdliyyin,
utamanya bentuk ikhtiyar organisasi
dalam menja-lankan “amar makruf nahi mungkar” yang diimplementasikan oleh
pengikutnya atau sikap keras kaum Nahdliyyin terhadap penolakan pada sistem
atau kebijakan pemerintah yang dapat merugikan akhlaq generasi muda kaum
Nahdliyyin.
namun, di
lain pihak, pemahaman
untuk mendefi-nisikan
radikalisme terjadi secara dengkal untuk memahami dan membedakan radikalisme-liberalisme-terorisme.
Kaum Nahdliyyin sering
salah kaprah untuk menangkap gejala seseorang atau sikap kyai dalam interaksi sosial, sering
dihukumkan radikal atau liberal atas pemikiran-pemikiran atau solusi yang
dijadikan rujukan.
Hal
demikian terjadi secara kesadaran
dan kesepakatan bersa-ma (bagian tertentu) terhadap hegemoni isu yang
kemudian menda-sari sebagai
pijakan konstruksi
radikalisme. Ada pula pemahaman radikal dipahami sebagai high politic atau urusan politik kepentingan
suatu kelompok tertentu yang tidak mendapatkan pengaruh dan ideologynya tidak
tersalurkan sehingga membuat terobosan-terobosan baru terkadang dilakukan
diluar nalar kesadaran.
Kyai
Abdul Hamid sendiri sering dianggap keras karena perlawanannya pada pelaku
maksiat, gaya berbicara blak-blakan, dan kritikan-kritikan kepada pemerintah
atas kebijakan yang kurang konstruktif justru sebagian yang lain beliau
dianggap radikal.[11] LPAI
juga dianggap identik dengan model dan figur Kyai Hamid, tetapi sebagiannya
menganggap cara demikian positif dan konstruktif sebagai dasar pikiran dan
penegak amar makruf nahi mungkar bahkan cara keras pada saat-saat tertentu
sangat dibutuhkan. Islam tidak hanya membenarkan dengan cara moderat tetapi
cara tegas, berperang pun dibenarkan dalam Islam selama tidak keluar dari
koridor-koridor syariat Islam.
Oleh karena itu pemantapan terhadap substansi radikalisme menjadi sangat
penting agar kaum
Nahdliyyin bisa memahami
persoalan sampai pada keakar-akarnya dan mampu menilainya sehingga mereka mampu
menem-patkan sisi mana
radikalisme itu menjadi sesuatu yang mengancam aqidah
ahlussunnah wal jama’ah,
serta sisi yang mana Radikalisme mengancam keutuhan NKRI, termasuk memahami
sisi yang mana radikalisme konstruktif terhadap perkembangan aqidah dan
kemajuan bangsa dan Negara Indonesia.
Makna
Radikal dalam kamus adalah sama sekali; besar-besaran dan menyeluruh, keras;
kokoh dan maju dan tajam (dalam berfikir). Radikalisme adalah paham politik
kenegaraan yang menghedaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan
untuk mencapai taraf kemajuan.[12]
Makna
konstruksi radikalisme yang dikehendaki oleh kaum Nahdliyyin adalah pemikiran
yang luas dalam pengembangan ajaran Islam, serta penegakan hukum yang adil
sesuai dengan hukum yang disepakati dalam undang-undang yang berperinsip pada
pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana disepakati bahwa akal sehat, pancaindra dan
intuisi merupakan elan vital dalam mema-hami agama dan unsure-unsurnya, berikut
pesan imam al-Ghazali yang diteladani oleh kaum Nahdliyyin:
Sesungguhnya akal semata bila
tidak deberangi pancaindra tidak bisa memutuskan proposisi-proposisi ini,
melainkan ia dapat menangkapnya dengan perantaraan pancaindra. Maka janganlah
anda meragukan kebenaran hasil-hasil empiri sensual, bila anda kecualikan
faktor-faktor aksidental, seperti lemahnya indra, jauhnya obyek yang diindra
dan tebalnya perantara.[13]
Dan barang siapa mendustakan akal,
nyata-nyata telah mendustakan syara’ sebab dengan akallah diketahui kebenaran
syara’. Sekiranya tidak adakebenaran dalil akal, kita tidak akan mengetahui
perbedaan antara nabi dengan yang mengaku nabi dan antara yang benar dengan
yang bohong. Bagaimana munkin akal didustakan oleh syara, padahal syara’ tidak
ditetapkan (kebenaran dan kesahannya) kecuali dengan akal.[14]
Wasiat kedua, janganlah
sekali-kali mendustakan akal sebab akal tidak berdusta, sekiranya akal
berbohong bisa jadi ia berbohong pula dalam menetapkan syara’ sebab dengan
akallah, kita mengetahui syara’ bagaimana mungkin diketahui kebenaran saksi
berdasarkan rekomendasi seseorang yang berbohong, syara’ adalah saksi menge-nai[15]
Tidak
jauh kemungkinannya wahai orang yang terpaku dialam akal, adanya dibelakng akal
potensi lain yang padanya tampak apa yang tampa pada akal sebagaimana mudah
dipahami adanya akal sebagaimana sarana lain dibelakng tamyiz dan pengindraan
yang padanya tersingkap keanehan-keanehan dan keajaiban-keajaiban yang tidak
terjangkau indra dan tamyiz karena itu janganlah anda menjadikan puncak
kesempurnaan itu terbatas pada diri anda sendiri.[16]
Berfikir
logika (radikal) al-Ghazali tersebut boleh dikembangkan terhadap penyelesaian
masalah dengan tidak mengesampingkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Disamping
hal tersebut cara lain juga bisa dipakai dalam memahami dan menjalankan ajaran
Islam seperti bertaqlid, mengikuti cara bermadzhab, diperbolehkan untuk menda-patkan
gambaran objektifitas dan orsinilitas serta validitas di dalam memahami
realitas sosial (tradisi, ritual dan budaya intelektual) yang dimiliki kaum
Nahdliyyin. Dari realitas sosial ini sesungguh-nya penyebab vonis kafir,
bid’ah, syirik yang dilontarkan oleh kaum transnasional.
Tetapi
berfikir radikal yang dilarang bagi kalangan Nahdliyyin adalah berfikir ala
Mu’tazilah, dimana pemikiran Mu’tazila mensejajarkan antara wahyu dengan akal.
Terkadang wahyu dan akal dipertentangkan yang menjadi rujukannya justru akal
bukan wahyu bahkan Wahyu itu dipahami makhluq.
Kemudian
yang dianggap radikal-sesat oleh kaum Nahdliyyin adalah sekelompok orang atau
organisasi yang aqidahnya bertenta-ngan dengan aqidah Ahlussunnah wal jama’ah
dan dibidang kenegaraan menolak pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan
Keutuhan NKRI sebagai dasar Negara Indonesia. Memaksakan kehendak bahwa
Indonesia sebagai Negara Islam (khilafah Islamiyah) dan sistemnya al-Qur’an dan
as-Sunnah. Sementara yang tidak setuju atau yang mengikuti pancasila, UUD 1945
dikatakan kafir dan najis. Kaum Nahdliyyin juga memahami bahwa radikalisme dalam berbagai perspektif
seperti radikalisme dalam perspektif politik, sosiologis, hukum, budaya, ekonomi dan radikalisme
dalam perspektif agama. Bagi kaum Nahdliyyin dan Indonesia
seluruhnya heboh dibidang radikalisme agama dan politik.
Pengetahuan
Nahdiyyin terhadap Khittah Nahdliyyah dan aqidah ahlussunnah, paham
radikal-sesat yang berkembang pada masya-rakat di Lingkungan Kabupaten Jember
Hasil penelitian
bahwa masih ada ‘sebagian kecil” dari Nahdliy-yin dan Nahdliyyat (masyarakat bawah) belum
memahami Khittah Nahdliyyah bahkan ada juga bagian dari orang NU terpelajar
menga-nggap
paham tentang Khittah Nahdliyyah, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memahami
Khittah secara benar. Temuan ini sesuai dengan penjelasan KH Abdul Muchith
Muzadi bahwa “sebagaian besar orang NU hanya dengar-dengar saja, tidak
membacanya, apalagi mempe-lajarinya secara seksama”[17] ini merupakan titik lemah kaum Nahdliyyin, harus
menjadi fokus perhatian NU dan Nahdliyyin kedepan sebagai start memulai
khidmahnya pada pendidikan masyarakat Nahdliyyin, lebih baik apabila Khittah
Nahdliyyah menjadi kitab wajib kajian-kajian diberbagai tempat.
Sebagian
umum Masyarakat Nahdliyyin kurang memahami Khittah Nahdliyyah, mereka lemah
pada kesadaran membaca, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, mereka lebih
senang belajar melalui mendengarkan pengajian, ikut shalawatan, dzikiran,
yasi-nan, tahlilan dan semacamnya.[18] Dikatakan sebagai masyarakat lebih senang
shalawatan, dzikiran, dzikiran, yasinan, Tahlilan dari pada mengkaji khittah
secara khusus. Kelompok-kelompok pengajian kaum Nahdliy-yin saat diinterview
memberikan jawaban bahwa khittah Nahdliyyah tidak banyak diketahuinya, hanya sebagian
kecil dari peserta pengajian yang mengetahui Khittah Nahdliyyah. Bagian penting saja
yang dibahas dan dirujuk sesuai dengan problematika umat atau
pertanyaan-pertanyaan masyarakat, contoh bagaimana cara bermadz-hab Kaum
Nahdliyyin? Bagaimana karakter kemasyarakatan kaum Nahdliyyin), Bagaimana
bentuk bela Negara Kaum Nahdliyyin untuk memperkokoh NKRI?, munculnya
pertanyaan tersebut, kaum Nahdliyyin baru belajar dan mengutip rumusan-rumusan
yang ada dalam Khittah Nahdliyyah. Khittah Nahdliyyah dikaji dan dibahas secara
detel pada lembaga khusus yang ada dalam pendidikan naungan Yayasan Pendidikan
NU (YPNU) dan Ma’arif, LBMNU.[19]
Walaupun masyarakat tidak secara langsung
memahami khittah Nahdliyyah, namun mereka sudah melaksanakan isi Khittah
Nahdliyyah, seperti bidang aqidah, masyarakat Nahdliyyin beraqidah Ahlussunnah
Wal Jama’ah dengan pendekatan madzhab, mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan
Abu Mansur al-Maturidi. Pengetahuan Kaum Nahdliyyin di bidang fiqh, mengikuti
empat imam yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Pada
pelaksanaannya Kaum Nahdliyyin memiliki kebeba-san untuk memilih pendapat salah
satu imam tersebut seperti bagaimana tatacara shalat yang sesuai dengan
tuntunan Rasulullah, kaum nahdliyyin memilih jalur madzhab artinya memahami
tatacara shalat lewat metodologi imam Syafi’i, begitu juga seterusnya. Di
bidang Negara, Nahdliyyin sangat patuh pada pemimpin yang adil, menjunjung
tinggi Pancasila dan Undang-Undang 1945 sebagai dasar hukum NKRI serta
mengamalkan sikap kemasyarakatan “tawassuth, I’tidal, Tawazun, Tasamuh dan amar
makruf nahi mungkar.
Ikatan pelajar NU seperti IPNU, PMII juga diakui,
tidak ada kajian secara khusus tentang Khittah tetapi proses MAPABA, PKD, PKL
membahas Khittah pada unsur sikap kemasyarakatannya sebagai modal dasar
pengetahuan pergerakan aswaja bagi mahasiswa kelak menjadi Nahdliyyin yang
berkualitas.[20]
YPNU pun sendiri mengkaji Khittah Nahdliyyah secara holistik. Pengkajian secara
tuntas tentang khittah adalah lembaga pendidikan seperti Universitas Islam
Jember, mengkaji Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) secara tuntas dan mendalam,
penguasaan terhadap aswaja disegala bidang disiplin ilmu, menjadi visi misi
Universitas Islam Jember[21], sehingga Aswaja
menjadi Matakuliah wajib dan unggulan Universitas, serta disertai praktik
aswaja di pesantren maupun di kampus. Dalam
desain RPP tersebut sangat jelas pembelajaran pada materi khittah, mahasiswa
menganalisis khittah secara baik bahkan mahasiswa diharuskan menghafal isi
Khittah dengan tujuan mahasiswa sebagai ilmuan yang dapat dijadikan corong UIJ
untuk mengajar masyarakat dalam mempertahankan aqidah aswaja dan meneruskan
perjuangan para ulama NU di bidang dakwa, social dan mempertahankan keutuhan
Negara Indonesia.[22]
Menurut Kepala LP2ANU Universitas Islam Jember bahwa
tujuan pendidikan Aswaja adalah untuk menjadikan mashasiswa (kaum nahdliyyin)
berkarakter aswaja, sasaran pendidikan aswaja tidak hanya cakup mahasiswa
tetapi semua civitas akademika bahkan masyarakat sekitar kampus. Kedepan Desain aswaja masuk pada interdisipliner pendidikan sesuai dengan
fakultas yang dimiliki Universitas Islam Jember seperti fakultas Hukum,
FaPertanian, FAI, FKIP, Fisip. Learning outcome: mahasiswa hukum mampu
mengu-asai ilmu hukum yang bercirikan aswaja beserta aplikasinya, mahasiswa
pertanian adalah mampu menguasai ilmu pertanian yang bercirikan aswaja beserta
aplikasinya. Mahasiswa FAI adalah mampu menguasai Ilmu Guru keagamaan Islam
yang bercirikan aswaja beserta aplikasinya. Mahasiswa FKIP mampu menguasai ilmu
keguruan umum yang bercirikan aswaja beserta aplikasinya. Mahasiswa Fisip
adalah mampu menguasai ilmu social dan ilmu politik yang bercirikan aswaja
beserta aplikasinya.[23]
Dengan demikian kaum Nahdliyyin akan menjadi umat Islam beraqidah aswaja,
bernegara ala aswaja dan semua disiplin kehidupannya mencerminkan nilai-nilai Islam
berkarakter aswaja.
Masyarakat
yang memahami Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah masyarakat yang belajar di
pesantren, sekolah Islam, Perguruan Tinggi Islam dan masyarakat umum yang
belajarnya pada ulama pembela Sunni baik saat pengajian umum, pengajian rutin
maupun pengajian hajatan seperti walimatul urus, walimatul hajj, walimatul
khitan, walimatul hamli, walimatul haul dan sebagainya. Sementara masyarakat
atau siswa/ mahasiswa yang tidak belajar pada pendidikan dan pengajian tersebut
sangat sulit untuk dapat memahami Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.[24] Pada kegiatan itu, biasanya seorang Kyai
menjelaskan agama dikonteks-kan pada aqidah Aswaja, fiqh aswaja. Sehingga
masyarakat umum mengenal aswaja secara mendasar.
Pengetahuan
Kaum Nahdiyyin terhadap aqidah ahlussunnah sejak belajar Islam pertama kali
yang diajarkan Kyai adalah aqidah ahlussunnah wal jama’ah, kitabnya antara lain
aqidatul awam, kifayatul Awam. Strategi kyai dalam mengajarkan aqidah
kepada santri pemula (mushalla, pesantren) adalah menggunakan hafalan terhadap nadlam
aqidatul awam, Kaum Nahdliyyin wajib menyakini 50 keyakinan adalah Keimanan
kepada Allah SWT Sifat wajib bagi Allah SWT ada 20, Sifat mustahil bagi
Allah SWT ada 20, dan Sifat jaiz bagi Allah SWT ada 1. Keimanan
kepada para rasul: Sifat wajib bagi rasul ada 4, Sifat mustahil bagi rasul
ada 4 dan Sifat jaiz bagi rasul ada 1, jumlah keseluruhan ada 50 aqaid yang
harus diimani oleh Nahdliyyin.[25]
Kaitan dengan paham Radikal-sesat di Jember, hasil
observasi peneliti dapat menghimpun data dari penjelasan Kapolres (Sabilul Alief)
beliau menjelaskan bahwa “Kapores menyambut baik LPAI karena sebagai sarana
penambahan ilmu agama dan meluruskan keimanan yang lurus. Menurut Sabilul Alief
persoalan aqidah tidak bisa dihubungkan dengan kasus kriminalitas, kasus
Kriminal itu bisa diselesaikan dengan hukuman, bisa jadi ditembak dan lainnya,
sedangkan kasus aliran aqidah radikal-sesat tidak selesai dengan hukum, tembak
dan sebagainya, tetapi aqidah radikal sesat harus dilawan dengan aqidah yang
lurus (aqidah aswaja). Ketika ditanya (kaum Radikal) itu menjawab saya bukan
teroris, tetapi mempertahankan aqidah saya pak, mereka siap mati demi
mem-pertahankan aqidahnya itu.. kemudian kapolres
Jember melanjutkan penjelasannya bahwa polisi Jember telah
menangkap 2 orang diduga teroris, pengadilan sudah mengidentifikasi 2 orang itu
bagian dari gerakan teroris. Dengan tegas sabilul “kalau ada indikasi
Radikalis-me di Jember harus ditangkap’ tetapi selama ada pengajian, maka
terorisme, radikalisme sulit masuk ke Jember. Kapolres Jember memerintahkan
kepada Kapolsek-Kapolsek di Jember yang memiliki perhutanan
seperti Temporjo, Mumbulsari, Ambulu.. segera melaku-kan operasi dan mengecek
hutan-hutan disekitarnya, kemungkinan ada latihan perang-perangan. Kalau ada
kelompok yang praktik perang-perangan perlu dicurigai. Begitu juga para Kyai,
kalau ada tokoh atau guru mengajarkan bunuh diri itu halal, maka laporkanlah ke
Kapolres.[26]
Kapolres
Jember (Sabilul Alief) menyambut sebagai tuan rumah pengajian LPAI
dikediamannya (perumahan Kapolres) mengemukakan berikut petikannya: “Setiap
senin pagi ada upacara di Polres, saya menyampaikan (Sabilul Alief) kepada
jajarannya bahwa setiap anggota kepolisian harus paham agama sesuai dengan
agama yang dianutnya, jika muslim, maka harus paham Islam dengan cara belajar pada
ulama, belajar shalat dan mengaji, masjid polres Jember sebelum tiba waktu
shalat menghidupkan suara mengaji dan adzan tepat waktu, dilanjutkan dengan
shalat jama’ah, itu dimaksudkan agar setiap anggota kepolisian hidup hatinya
dan berdoa kejahatan dapat dikalahkan”.[27]
Walaupun
masyarakat kurang memahami Islam sebagaimana pemahaman kaum pesantren maupun
kaum berpendidikan agama, namun persoalan keimanan dan budaya masyarakat sangat
kuat dan mengikat dengan pemahaman keislaman yang diajarkan dan diamalkan para
Kyai pesantren, Kyai Mushalla, Kyai Kampung dan lumrahnya tradisi keagamaan
maupun budaya pada suatu lingku-ngan
masyarakat tertentu. Jika ada sesorang yang tampil berbeda paham (radikal)
atau menerobos tradisi masyarakat, maka masya-rakat memandangnya, iman dan
perbuatan orang tersebut menyimpang dari ajaran Islam dan tradisi masyarakat
setempat. Sehingga masyarakat memberlakukan sikap yang kurang baik bahkan
perbuatan kasar / Keras hukuman masyarakat pada orang tersebut. Contoh tradisi
masyarakat dalam memperingati kemerde-kaan RI adalah mengada-kan selamatan
masal, menaikkan Bendera dan menghormatinya. Sementara ada seorang yang
memiliki paham radikal, tidak menyukainya bahkan melakukan perlawanan kepada
masyarakat dengan cara berkata selamatan masal bid’ah, dan menaikkan bendera,
menghormatinya adalah syirik dan kafir bagi yang merayakannya.[28]
Masyarakat menilai aliran tersebut sebagai aliran radikal dan bukan bangsa
Indonesia yang mencintai Negara dan mengingat jasa para syuhada, pejuang
kemerdekaan RI.
Azyumardi Azra[29]
memberikan penegasan yang terang benderang tentang terjadinya radikalisme
dikalangan umat Islam disebabkan dua factor yaitu internal dan eksternal.
Faktor Internal terjadi karena:
1. Pemahaman literal, ad hoc dan sepotong-potong
atas kitab suci atau doktrin tententu dalam agama
2. Paham eskatologis dalam kalangan umat beragama
(kiamat, imam mahdi, ratu adil, messiah)
3. Sekterianisme atau fanatisme terhadap aliran atau
faham tertentu yang ada dalam agama
4. Konflik kepemimpinan agama; kontestasi kepemimpinan
dan pengaruh
Sedangkan
faktor eksternal adalah
1. Politik; ideologi sekuler Negara-bangsa; sekularisme
Darwinisme social; religiously unfriendly ideology
2. Ketimpangan power–sharing; dominasi kelompok politik/
kelom-pok agama tertentu
3. Ketimpangan ekonomi dan sumberdaya; meluasnya
kemiskinan dan pengangguran
4. Kepincangan hubungan internasional; ketidakadilan
terhadap Negara tertentu;
5. Globalisasi, liberalisasi, demokratisasi, penyebaran
paham, ideology dan gerakan trans-nasional
Kemudian beliau memberikan alternative untuk mengatasi
kesenja-ngan tersebut antara lain
1.
Revitalisasi faham
agama moderat, jalan tengah (wasatiyah) secara komprehensif
2.
Pemberdayaan
Religious-besed Civil society Organizations untuk menguatkan komitmen
kebangsaan multicultural
3.
Penegakan hokum secara
tegas dan terukur
4.
Penciptaan keadilan
social, ekonomi dan politik
5.
Penuatan paham dan
ideology kebangsaan
6.
Koordinasi
antar-kementerian / lembaga pemerintah
7.
Penataan hubungan dan
keadilan internasional
8.
Deradikalisasi
komprehensif dan integrated;[30]
Ciri kelompok yang
dipandang radikal oleh masyarakat Jember adalah mereka berjenggot (jenggot
idealis), celana cingkrang, dahi berbekas merah, anti tahlil, anti ziarah
kubur, suka membid’akan dan mengkafirkan orang lain.[31]
Pengajian al-Ikhlas, merupakan pengajian salah satu masyarakat yang mempertahankan tradisi
Nahdliyyin yaitu membaca Yasin, Tahlil, Istighatsah, baca shalat dan
sebagainya, sebagai upaya mempertahankan tradisi Nahdliyyin yang dapat
memperkokoh aqidah ahlussunnah dan menumbuhkan pola hidup rukun dimasya-rakat.[32]
Pengajian ini tidak hanya kegiatan tahlil dan yasinan saja, melainkan ada
pembinaan aqidah, fiqh dan akhlaq.[33]
Pengajian rutin LPAI
yang dilaksanakan satu bulan sekali setiap Jum’at Manis atau jum’at Legi,
membahas problematika umat kekinian telah membahas ciri-ciri kelompok
radikal-sesat, berikut ini petikan catatan lapangan yang menjelaskan ciri-ciri
kelompok radikal sesat adalah:
1.
Kelompok itu selalu
membid’akan orang lain
2.
Selalu mencari
hadis-hadis tekstualis terhadap perbuatan atau aktifitas keagamaan maupun
social politik ekonomi, budaya dan sebagainya.
3.
Memahami ayat
sepotong-potong
4.
Tidak mau merujuk pada
kitab-kitab hadis, aqidah, fiqh dan akhlaq yang ditulis oleh pembela
ahlussunnah wal jama’ah
5.
Mengaku tidak
menggunakan hadis dhoif (bukan hadis palsu) tetapi lebih nengedepankan pendapat
gurunya atau jalan ijtihad.
6.
Tekstualis memahami
ayat dan hadis
7.
Tidak mau bermadzhab
karena madzhab itu adalah bid’ah. Mereka dengan yakin berijtihad. Padahal
ijtihad harus memenuhi persya-ratannya.[34]
Masyarakat di
Lingkungan Kabupaten Jember tepatnya Kecama-tan Patrang Kelurahan Patrang
memiliki organisasi keagamaan dan sosial yang plural, tetapi juga agamis, sopan
santun tinggi sesama Rukun Warga, Rukun Tetangga tetap terjaga. Masyarakat ini
rutin mengadakan pengajian, dan
melakukan gotong royong (sosial) dan menjaga keamanan yang dipimpin oleh Ketua RW dan RT.[35]
Masyarakat ini, memiliki pengajian rutin yang diselenggarakan antara lain
dilaksanakan malam Rabu pengajian Nurul Hidayah khusus muslimat dilaksanakan
jam 18:40 s/d 20:40 malam kamis jam 18.30–20.00, nama pengajian al-Ikhlas,
pengajian khusus jama’ah muslimin. Malam Jum’at pengajian Yasinan dan Tahlilan
dilaksanakan mulai jam 18:30 s/d 20:00 pengajian khusus jama’ah muslimin.
Pengajian rutin RW dilaksanakan di Kelurahan yang dibina Bapak Lurah.
pesertanya semua anggota pengajian rutin masing-masing RW di lingkungan
kelurahan patrang berkumpul pada minggu ke 3 dengan mengundang dai sebagai
penceramah untuk membimbing masyarakat menuju jalan yang diridlai Allah.[36]
Disamping pengajian
tersebut, Kecamatan bersaman Kelurahan desa dan semua warga bersama-sama
memperkuat nasionalisme masyarakat dengan berbagai aktifitas seperti
memeriahkan 17 Agustus dan memeriahkan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam).[37] Dari keterangan Lurah dan Bapak Rudi Kaswara
bahwa pengajian tersebut merupakan usaha untuk mempertahankan aqidah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah,
melestarikan tradisi pendidikan keagamaan masyarakat serta pengajian rutin
tersebut, diproyeksikan untuk dapat menangkis paham-paham baru (radikal-sesat)
supaya mental warga dan persatuan warga tetap terjaga. gotong royong yang
dilakukan oleh masyarakat sebagai ikatan memperkuat sosial warga, kerukunan
warga pada Kelurahan Patrang Lingkungan Cangkring RW 04 RT 1,2 dan 3 kegiatan
ini sangat kuat dan sudah mengakar cukup lama. Pengajian RW kelurahan
Patrang dimaksudkan untuk belajar agama, belajar mengaji al-Qur’an, juga
menyadarkan orang tua akan pentingnya pemahaman agama pada orang lanjut usia,
orang tua dan anak. Banyak orang tua tidak memperhatikan perkembangan agama
dalam diri anak, banyak anak meninggalkan shalat, pergaulan bebas, benci pada
orang tua bahkan ada yang mau mencelakainya, itu disebabkan juga karena factor
orang tua; salah didikan sejak usia kecil.[38]
Ikatan Takmir Masjid Dan Mushalla Jember
memberikan penjelasan kepada peneliti bahwa “Ikatan Takmir Masjid Dan Mushalla
Jember menolak keras kepada Aliran Wahabi dan Salafi “Rakyat di Indonesia atau
Umat Islam ini butuh dakwa Islam yang sejuk dari ajaran Islam yang haq, itulah
Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Islam Yang Rahmatan Lil Alamiin dan buka
Islam yang suka membuat provokasi dan perpecahan, tidak bisa menjaga perbedaan,
ekstrem dan suka mengkafirkan. diketahui Salafi Wahabi yang datang ke Indonesia
kerap membuat hal-hal kontradiktif dan provokatif bagi warga (Nahdliyyin),
menyesatkan, membid’akan mengkafir syirikkan segala amalia muslimin/kaum
Nahdliyyin. Anggapan mereka bahwasanya kaum Nahdliyyin mengedepankan hawa Nafsu
dari pada menggunakan dalil-dalil syar’i, padahal tidak sedikitpun amaliah yang
dilakukan oleh Nahdliyyin keluar dari syar’i, karena ibadah dan amaliah
nahdliyyin berdasar pada dalil al-qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Ketika
al-Qur’an, as-Sunnah tidak ditemukan dalil khususnya maka nahdliyyin mencari
hukum ijma (kesepakatan ulama), jika tidak ditemukannya, maka Nahdliyyin
menggu-nakan jalan qiyas (pendapat individu). Sementara salafisme dan
wahabi-sme alergi pada ijma’ dan qiyas, sehingga jika umat Islam (nahdliyyin)
beramaliah berdasar pada pendapat ulama mu’tabarah (ijma’) dan qiyas, maka
salafisme menilai bid’ah bahkan syirik. Ini yang salah bukanlah kaum nahdliyyin
justru Nahdliyyin lebih maju dan berkembang dibandingkan salafi wahabi. Karena salafi wahabi
pura-pura tidak mau bermadzhab, sementara banyak pendapatnya yang merujuk pada
pendahulunya. Kata merujuk pendapat itu sendiri kan sudah bermadzhab bersandar,
mengikuti pada pemahaman orang lain. Sesungguhnya jalan madzhab itu cara
memahami Islam melalui metodologi pemahaman Islam yang telah dilakukan oleh
ulama terdahulunya. Karena dipandang luas dan menyambung silsilahnya kepada
rasulullah, juga memiliki kepriba-dian yang tangguh dan berakhlaq
akhlaqullah.
Salafisme wahabisme
mengkampanyekan ‘kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis, memurnikan “aqidah” dan
ijtihad sendiri dalam memutus-kan hukum. Justru kaum nahdliyyin segala usahanya
menyetir ayat-ayat al-qur’an dan al-Hadis, mengguakan aqidah aswaja, fiqh
aswaja, akhlaq aswaja. Itu merupakan usaha yang luar bisa dalam memurnikan
ajaran Islam. Persoalan “ijtihad” kaum nahdliyyin memandang bahwa ijtihad itu
tidak semua orang mampu, tetapi hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu yang
memenuhi criteria standar yang ditentukan para ulama. Inilah alasan Nahdliyyin
menggunakan madzhab dalam mengimplemen-tasikan hukum Islam, mengikuti Imam
Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan imam Ahmad bin Hambal. Hal ysng demikian
telah dijelaskan dalam Khittah Nahdliyyah bahwa “tidak semua orang mampu
memahami sendiri dan menyimpulkan pendapatnya mengenahi sesuatu langsung dari
al-Qur’an dan al-Hadis secara benar sehingga dapat dipertanggung jawabkan
kemurniannya. Diperlukan system yang dapat dipertang-gung jawabkan bagi seorang
yang perlu punya pendaat atau perlu melakukan suatu hal yang mengenahi ajaran
agama:
1.
Bagi yang memenuhi
syarat dan sarana untuk mengambil kesim-pulan pendapat (istimbat/استنباط)
sendiri dapat menggunakan system ijtihad yaitu beristimbath sendiri
2.
Bagi yang tidak
memenuhi syarat atau yang meragukan kemam-puannya sendiri tidak ada yang dapat
dilakukan kecuali mengikuti hasil ijtihad atau istimbath orang lain yang mampu,
yang disebut dengan istilah system taqlid.
Memaksa semua orang
beristimbath sendiri, bukan saja tidak tepat tetapi juga sangat membahayakan
kemurnian ajaran agama Islam, membahayakan as-Sunnah Wal Jama’ah
Rasulullah bersabda:
اِذَا اُسِدَ اْلَامْرُ اِلَى غَيْرِ اَهْلِهِ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ
Tatkala suatu masalah diserahka kepada bukan ahlinya,
maka tunggulah saat (kehancuran perkara itu).[39]
Salafisme-Wahabisme
memang banyak dan sering menuduh kaum Nahdliyyin sebagai penganut Ajaran Nenek Moyang
(tradisi). Seperti pesan dari dai Salafi ditulis;
“Sekira para kyai
Aswaja NU mau menang-galkan
hawa nafsu dan sikap fanatisme yang membabi buta terhadap tradisi leluhur
mereka, niscaya mereka bakal mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
para dai dari Salafi yang telah meluruskan makna Ahlu Sunnah wal Jamaah yang
selama ini mereka pahami secara keliru”
Jawaban:
Justru
dai dari Salafi
yang baru mengetahui ijtihad Islam dan belum mengerti seluk-beluk metode
ijtihad para ulama sejak dahulu. Apa yang telah kami amalkan memiliki landasan
ijtihad sebagai berikut:
1. Qiyas Dalam Ibadah
-
Sumber Hukum Qiyas;
Ulama ahli Tafsir, Syaikh Fakhruddin
ar-Razi, menjelaskan firman Allah dalam QS an-Nisa’: 59, sebagai 4 sumber hukum
dalam Islam:
قَوْلُهُ : أَطِيْعُواْ اللهَ
وَأَطِيْعُواْ الرَّسُوْلَ , يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبِ مُتَابَعَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ .
قَوْلُهُ : وَأُوْلِى الْأمْرِ مِنْكُمْ , يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ إِجْمَاعَ الْأُمَّةِ حُجَّةٌ ...
قَوْلُهُ : فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ
وَالرَّسُوْلِ, يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ الْقِيَاسَ حُجَّةٌ
“Firman Allah (ta`atilah Allah dan
ta`atilah Rasul) menunjukkan kewajiban mengikuti al-Quran dan Hadis. Firman
Allah (dan ulil amri) menunjukkan bagi kita bahwa Ijma’ umat Islam adalah
sebuah hujjah. Dan firman Allah (jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu...) menunjukkan bagi kita bahwa Qiyas adalah sebuah hujjah”[40]
- Khilafiyah Qiyas Dalam Ibadah
Metode
Qiyas semacam ini memang menjadi khilafiyah diantara lintas ulama Madzhab,
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali bin Muham-mad al-Ba’li:
مَسْأَلَةٌ
يَجْرِى الْقِيَاسُ فِى الْعِبَادَاتِ وَالْأَسْبَابِ وَالْكَفَّارَاتِ
وَالْحُدُوْدِ وَالْمُقَدَّرَاتِ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَالشَّافِعِيَّةِ خِلَافًا
لِلْحَنَفِيَّةِ
“Qiyas berlaku dalam masalah ibadah,
sebab-sebab syariat, kaffarat (denda/sanksi), hukum pidana dan ukuran, menurut
ulama kami (madzhab Hanbali) dan madzhab Syafiiyah, berbeda dengan madzhab
Hanafiyah”[41]
Contoh dari hasil ijtihad ini adalah
membaca niat dalam salat, salaman setelah salat, adzan di kubur
2. Mengamalkan
Hadis Dlaif
Ulama
Salafi menvonis mengamalkan hadis dlaif adalah bid’ah, padahal tidak demikian. Sudah
sejak masa ulama Salaf hadis dlaif diamalkan, bahkan hal ini diakui oleh Ibnu
Taimiyah yang diberi gelar Syaikhul Islam oleh Salafi:
فَصْلٌ قَوْلُ أَحْمَد بْنِ
حَنْبَلٍ : إذَا جَاءَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ شَدَّدْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛
وَإِذَا جَاءَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ تَسَاهَلْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛
وَكَذَلِكَ مَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ مِنْ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي
فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ : لَيْسَ مَعْنَاهُ إثْبَاتُ الِاسْتِحْبَابِ بِالْحَدِيثِ
الَّذِي لَا يُحْتَجُّ بِهِ ؛ فَإِنَّ الِاسْتِحْبَابَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَلَا
يَثْبُتُ إلَّا بِدَلِيلِ شَرْعِيٍّ
(Fasal) Perkataan Ahmad bin Hanbal:
“Jika ada hadis yang menjelaskan halal dan haram, maka kami sangat ketat dalam
menilai sanadnya. Jika ada hadis dalam masalah dorongan beribadah atau motifasi
meninggal-kan larangan, maka kami memberi kelonggaran dalam sanadnya”, demikian
halnya para ulama yang mengamalkan hadis dlaif dalam hal keutamaan beramal;
maksudnya adalah bukan untuk menetapkan hukum sunah dengan hadis yang tidak
dapat dijadikan hujjah. Sebab, sunah adalah hukum syar’i maka tidak dapat
dijadikan ketetapan hukum kecuali dengan dalil Syar’i.
وَإِنَّمَا مُرَادُهُمْ
بِذَلِكَ : أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ مِمَّا قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ مِمَّا يُحِبُّهُ
اللَّهُ أَوْ مِمَّا يَكْرَهُهُ اللَّهُ بِنَصِّ أَوْ إجْمَاعٍ كَتِلَاوَةِ
الْقُرْآنِ ؛ وَالتَّسْبِيحِ وَالدُّعَاءِ ؛ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ ؛
وَالْإِحْسَانِ إلَى النَّاسِ ؛ وَكَرَاهَةِ الْكَذِبِ وَالْخِيَانَةِ ؛ وَنَحْوِ
ذَلِكَ ... وَمِثَالُ ذَلِكَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ
بِالْإِسْرَائِيْلِيَّاتِ وَالْمَنَامَاتِ وَكَلِمَاتِ السَّلَفِ وَالْعُلَمَاءِ
وَوَقَائِعِ الْعُلَمَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَجُوزُ بِمُجَرَّدِهِ
إثْبَاتُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ ؛ لَا اسْتِحْبَابٍ وَلَا غَيْرِهِ وَلَكِنْ يَجُوزُ
أَنْ يُذْكَرَ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ ؛ وَالتَّرْجِيَةِ وَالتَّخْوِيفِ
. فَمَا عُلِمَ حُسْنُهُ أَوْ قُبْحُهُ بِأَدِلَّةِ الشَّرْعِ فَإِنَّ ذَلِكَ
يَنْفَعُ وَلَا يَضُرُّ
Maksud mereka (Imam Ahmad dan
lainnya) adalah melaksana-kan hal-hal yang disenagi oleh Allah atau yang tidak
disenangi berdasarkan dalil nash atau ijma’ ulama, seperti membaca al-Quran,
tasbih, doa, sedekah, memerdekakan budak, berbuat baik kepada manusia, menjauhi
dusta, khianat dan sebagainya.... Demikian halnya dorongan ibadah dan menjauhi
larangan dengan dasar kisah-kisah Israiliyat, mimpi-mimpi, perkataan ulama
Salaf, kejadian yang dialami para ulama dan hal yang tidak boleh dijadikan
hukum Syar’i hanya karena hal diatas. Bukan menjadi hukum sunah atau lainnya.
Namun boleh disebutkan dalam hal mendorong ibadah, menjauhi dosa, memberi
harapan atau menakut-nakuti. Maka, sesuatu yang diketahui bagusnya atau
buruknya berdasarkan dalil Syar’i maka hal itu boleh dan tidak berbahaya
(Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa 4/50)
Contoh
amaliah yang merujuk kepada hadis dlaif adalah Talqin di makam. Sedangkan
contoh mengamalkan dari para ulama adalah melepas tali pocong dari sebagian
Tabiin. Contoh mengamalkan mimpi adalah doa fida’ baik tahlil 70.000 kali
maupun al-Ikhlas 100.000 kali, mondoakan orang yang meninggal (tahlilan),
yasinan, shalawatan, tawassul dll.
Jika Ibnu Taimiyah boleh mengamalkan, mengapa pengikutnya menolak?
3.
Mengamalkan Tradisi
Masalah
inilah yang paling banyak dituduh sebagai mengamalkan ajaran nenek moyang,
yaitu tradisi. Padahal tidak semua tradisi harus dijauhi, bahkan tradisi yang
dinilai baik oleh umat Islam boleh diamalkan, sebagaimana riwayat berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ : مَا رَأَى
الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ
سَيّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّىءٌ وَقَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ
يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (رواه احمد والحاكم والطبراني
والبزار . قال الذهبي قي التلخيص : صحيح وقال الهيثمي رجاله ثقات
“Diriwayatkan dari Abdullah bin
Mas’ud, ia berkata: “Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi
Allah. Dan apa yang dilihat buruk oleh umat Islam, maka buruk pula bagi Allah.
Para sahabat kesemuanya telah berpandangan untuk mengangkat khalifah Abu Bakar”
(Riwayat Ahmad, al-Hakim, al-Thabrani dan al-Bazzar. Al-Dzahabi berkata: Sahih.
Al-Haitsami berkata: Para perawinya terpercata)
Mufti al-Azhar, Syaikh Athiyah
Shaqr, berfatwa:
وَهَذَا الْأَثَرُ اسْتَدَلَّ بِهِ جُمْهُوْرُ
الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الْعُرْفَ حُجَّةٌ فىِ التَّشْرِيْعِ وَلَكِنْ بِشَرْطِ
عَدَمِ تَعَارُضِهِ مَعَ النُّصُوْصِ الصَّرِيْحَةِ وَالْأُصُوْلِ الْمُقَرَّرَةِ
.... قَالَ الْعُلَمَاءُ : إِنَّ الْعُرْفَ لَا يُؤْخَذُ بِهِ إِلَّا بِشُرُوْطٍ
مِنْهَا أَنْ يَكُوْنَ مُطَّرِدًا أَوْ غَالِبًا أَىْ شَائِعًا بَيْنَ
الْكَثِيْرِيْنَ مَعَ مُرَاعَاةِ أَنَّ لِكُلِّ جَمَاعَةٍ عُرْفَهَا وَمِنْهَا
أَلَّا يَكُوْنَ مُخَالِفًا لِنَصٍّ شَرْعِىٍّ كَشُرْبِ الْخَمْرِ وَلَعْبِ
الْمَيْسِرِ وَالتَّعَامُلِ بِالرِّبَا ... (فتاوى الأزهر - ج 10 / ص 336(
Atsar (Ibnu Mas’ud) ini dijadikan
dalil oleh mayoritas ulama bahwa ‘urf atau kebiasaan adalah sebuah dalil dalam
agama, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran agama dan kaidah
ushul yang telah ditetapkan... ulama berkata: Urf atau kebiasaan tidak
digunakan kecuali dengan beberapa syarat, diantaranya harus berlaku secara umum
oleh kebanyakan orang, serta melestarikan kebiasaan masing-masing. Diantaranya
juga tidak bertentangan dengan dalil agama, seperti minum khamr, permainan judi
dan transaksi riba...”[42]
Kriteria
tradisi dengan syarat diatas juga dibenarkan dalam pandangan ulama 4 madzhab,
seperti oleh Syaikh Zadah al-Hanafi dalam Majma’ al-Anhar 5/361, Syaikh
ad-Dasuqi al-Maliki dalam Hasyiah ‘ala asy-Syarh al-Kabir 15/372, al-Hafidz
as-Suyuthi asy-Syafi’i, Asybah wa an-Nadzair, 1/164, dan Syaikh asy-Syinqithi
dalam Syarah Zad al-Mustaqni’ 6/166.[43]
Salah satu latar belakang
pembentukan Ikatan Takmir Masjid dan Mushalla, sebagai respon terhadap aliran
salafi, tahlil itu bid’ah, bahkan ada kalangan salafisme yang ekstrem sampai
pada pengkafiran orang tua (ibu,bapak) sendiri yang berbeda aliran, menurutnya
perbedaan aliran di tubuh Salafi Wahabi memiliki doktrin bahwa perbedaan aqidah
atau diluar kelompok salafi dianggap kafir. Ini paradigma bahkan
ideology khawarij dan syiah yang dipakai mereka untuk membelah persatuan umat
Islam (nahdlyyin/sunniyyin).[44]
Takmir Masjid Nurul Hidayah
Lingku-ngan Cangkring Patrang menjelaskan bahwa “pernah mengusir kelompok yang
mengaku hendak menyiarkan Islam kepada masyarakat dengan menempati masjid
tersebut, alasan beliau menolak mereka, karena diduga keras ajaran yang
dibawanya tidak sesuai dengan aqidah dan tradisi masyarakat setempat.”[45]
Kasus serupa tersebut sering
terjadi, oleh karena itu Ikatan Masjid, kelompok pengajian masyarakat
Nahdliyyin ingin menyalamatkan pengaruh aliran Salafi Wahabi; banyak masjid dan
mushalla masyarakat sunni menjadi tempat dakwah mereka. Kelompok Syiah
merupakan kelompok keagamaan yang diwas-padai oleh masyarakat Kaum Nahdliyyin. Salafisme, Wahabisme,
Syiahisme, Khawarijisme justru tergolong kelompok keagamaan kategori ahlul
bid’ah-sesat. Konsep Rukun
iman syiah, rukun
Islam syiah,
al-Qur’an dan as-Sunnah syiah, dan
sahabat serta ahlul bait konsep syiah, berbeda
dengan konsep ahlussunnah sehingga perbedaan itu menyangkut persoalan yang prinsip, tidak bisa ditolerir.
Doktrinal Ahlussunnah
perbedaan rukun Iman, rukun Islam tersebut menyebabkan pendiskualifikasi
sebagai umat Islam aswaja, karena telah dianggap kontradiktif dengan ajaran
Islam ala ahlussunnah (ajaran Islam yang dibawa rasulullah). Menurut doktrin aswaja
bahwa rukun Iman dan rukun islam adalah paten (tetap) tidak bisa berubah dan
tidak bisa digugat (tafsir, dikritik
dll).[46]
Hizbut Tahril Indonesia (HTI)
berpandangan pada pengingkaran terhadap siksa kubur, Qada dan Qadar, melecehkan
umat Islam, mengkafirkannya serta memperbolehkan mencium wanita yang bukan
isteri.[47]
I’tiqad ini kontradiktif dengan ajaran Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah.
I’tiqad Salafi Wahabi, Syiah dan HTI bertentangan dengan Khittah
Nahdliyyah baik di bidang aqidah
maupun konsep bernegara. Salafi Wahabi dan HTI memiliki kesamaan persepsi yakni
menghendaki Negara Indonesia sebagai Negara Islam (Darul Islam),
Khilafah Islamiy-yah, karena menurut anggapan mereka bahwa hanya dengan
khilafah Islamiyyah persoalan yang dihadapi Indonesia seperti korupsi, keadilan
dan seterusnya bisa ditegak. Sementara Khittah Nahdliyyah dan Kaum Nahdliyyin
justru berbalik bahwa Negara Indonesia bisa menjadi Negara merdeka, dan baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur, adalah bisa dicapai hanya dengan menerapkan
sistem Negara “Darus Salam” bukan dengan “Darul Islam”.
Sistem Negara “Darus Salam” yang dimaksud
adalah sistem Negara yang mensejahterakan rakyat Indonesia dengan cara
mengaplikasikan nilai-nilai agama Islam, seperti yang terkandung dalam
pancasila, dari nomor satu sampai lima tidak ada yang bertentangan dengan
ajaran Islan justru sebaliknya sangat islami dan berdasar pada al-qur’an dan
sunnah Rasulullah (ketika rasulullah memimpin sebagai khalifah). Negara “Darus
Salam’ telah dirumuskan oleh NU bahwa umat Islam supaya berlaku toleran dan
meninggalkan apapun bentuk kekerasan, ekstrem, terorisme, bersikap moderat, ukhuwah,
tawassuth, tawazun, dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Mengenahi konsep “Darus Salam”, para ulama NU
berdasar pada kitab kuning karya Imam al-Mawardi “Ahkam As Sulthaniyyah”
dan merujuk pada Piagam Madinah serta tidak ada Nas al-Qur’an
maupun al-Hadis yang menjelaskan Negara Islam (Darul Islam). Itu artinya
bahwa pancasila dan UUD 1945 sah menjadi dasar Negara Indonesia, tidak perlu
digugat dan dikafirkan. Para Ulama NU membela pancasila dan mendirikan Negara “Darus
Salam” dengan cara mengeluarkan fatwa resolusi Jihad pada Tanggal 22
Oktober 1945 bahwa membela tanah air, bangsa Indonesia sama dengan membela
agama.
Pemahaman
Kaum Nahdliyyin terhadap Isi Khittah Nahdiyyah dan hubungannya terhadap aqidah
ahlussunnah, dan keutuhan NKRI di Lingkungan Kabupaten Jember
Khittah
Nahdliyyah salah satu bagian yang dibanggakan oleh Kaum Nahdliyyin dari sekian
banyak prestasi yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama. Khittah Nadliyyah mengatur
cara beragama dan bernegara yang baik, termasuk di bidang akhlaq, aqidah, fiqih
dan cara mempertahankan Negara Indonesia. Akhlaq yang dikembang-kan dalam
khittah adalah mengikuti konsep akhlaq imam Ghazali dan imam Junaid
al-Baghdadi. Dua imam besar ini mengajarkan akhlaq hidup dengan kesederhanaan, menghindar dari
kemewahan dunia. Hal demikian sesuai dengan bahasan akhlaq yang dikenhen-daki oleh khittah.
Pengajian
LPAI menguraikan akhlaq kesederhanaan tersebut yang dijelaskan oleh KH Ahmad
Sadid Jauhari menjelaskan tentang akhlaq Rasulullah yang harus diteladani oleh
Kaum Nahdliyyin diantaranya “sikap kesederhanaan “faqir” Rasulullah dan para
sahabatnya. Beliau menerangkan keserderhanaan hidup “Ashabul Kuffah” sampai
mereka ada yang terjatuh di dalam shalat berjama’ah, jama’ah yang lain ada yang
menilai “oh itu orang gila”. Ashabul Kuffah orang yang taat pada perintah
Rasul, “dilarang untuk meminta-minta” kemudian ashabul kuffah mendapat jaminan
karena ada bab memuliakan tamu, sebelum dijamu oleh Abu Bakar, ditengah jalan
menuju rumah Abu Bakar, mereka terjatuh karena kelaparan. Hidup dengan
sederhana, rasa lapar bagian dari pada
iman.[48] Peserta pengjian LPAI (kaum nahdliyyin) dapat meneladani tentang
kehidupan Rasul dan para sahabatnya. Walaupun hidup sederhana ini dianggap
tidak popular, tetapi orang yang mengang-gap penting mencontoh hidup sederhana
(faqr) adalah orang yang beriman yang kuat, sebagaimana Kyai Abdul hamid
mengutip syarah Ratibul Haddad “iman ada 4 tingkatan” pertama imannya
Ashabul Yamin yaitu keimanan orang biasa dan apabila ada gangguan (godaan)
mereka agak terganggu atau berubah keimanan-nya. Kedua, Iman Muqarrabin, yaitu
imannya orang-orang yang dekat pada Allah, mereka mampu mengimani yang ghaib
benar-benar ada. Ketiga, imannya shiddiqin, syuhada’ shalihin. dan keempat
imannya para Nabi (nabiyyin) mereka selamat dalam hidupnya apabila sampai pada
tingkatan ini karena mereka mantap dengan kenabian, bagaimana faqir Nabi dan
seterusnya.[49]
Di
Jember sudah ada indikasi Amalillah[50]
suatu Yayasan yang ada di Jombang merekrut Janda-Janda sebagai anggota, tiap
bulan mengadakan pengajian dengan membayar semacam tabungan, di Jember sudah 25
orang menjadi anggota, Thamrin menuturkan “jauh-jauh ke Jombang kok berani”,
padahal bukan pondok, bukan kyai tapi rumah biasa. Menurut Thamrin yang penting mulai keluarga sendiri
mewaspadai karena
kemaksiatan dan serangan semakin melebar, seperti Kurir Bandar Narkoba anak
muda menjadi sasaran, mengapa anak muda? Karena anak muda tidak bisa dihukum
berada di bawa umur.[51]
Kapolsek Kaliwates diminta menanggapi oleh LPAI, beliau menjawab membenarkan
bahwa “miras dan narkoba
sasarannya anak usia dibawah 16 Tahun”, pertama usaha kurir
narkoba dalam mempengaruhi anak muda terlebih dahulu dicandukan dengan minuman
keras (miras) baru katika anak kecanduan pada miras, kemudian ditawarkan
narkoba. Karena itu menurut Kapolsek perlu pendekatan individu atau pribadi
untuk mencegahnya.[52]
Motif ini dilakukan pihak luar Islam berusaha untuk merusak generasi muslim dan
citra muslim itu sendiri. Itu dipandang lebih efektif untuk menghacurkan umat
Islam dari dalam. Umat Islam Indonesia tidak bisa diserang secara fisik atau
dihentikan dakwahnya, justru semakin kuat persatuannya, sebagaimana persatuan
umat Islam pasca kemerdekaan, sulit untuk dikalahkan dengan senjata dan
teknologi modern, tetapi senjata ampuh yang dapat melumpuhkan umat Islam, bisa
dijajah lewat cara yang halus, seperti budaya, tradisi,
pendidikan dan seterusnya.
Khittah Nahdliyyah ramai dibicarakan apabila ada momen
penting, memasuki babak pemilu, politik, persoalan takfir, teroris, isu-isu
keagamaan, Khittah Nahdliyyah menjadi rujukan dan bahan pembahasan ramai
apabila terjadi konflik agama, social, budaya. Tetapi ketika suasana damai dari
persoalan tersebut, maka Khittah Nahdliyyah sepi dari pembicaraan dan kajian
yang mendalam pada isi yang terkandung dalam khittah tersebut. Hal itu telah
dibenarkan oleh KH Abdul Muchith Muzadi “sebab orang NU sendiri tidak
mempelajari Khittah NU dengan serius, cenderung merasa sudah mengerti, padahal
belum pernah membacanya dengan baik dan lengkap.. sebagian besar hanya
dengar-dengar saja, tidak membaca-nya apalagi mempelajarinya dengan seksama..
menyebabkan orang NU salah paham tentang Khittah, karena mereka tahunya Khittah
NU “hanya” mengatur hubungan NU dengan politik praktis dan partai-partai…
Khittah NU mengatur NU seluruhnya mencakup karakter dasar tawassuth, I’tidal, tawazun,
amar makruf nahi mungkar, dasar-dasar pemahaman al-Qur’an dan al-Hadis dengan
pendekatan bermadzhab, dasar-dasar akhlaq NU, sikap kemasyara-katan, kebangsaan
dan kenegaraan NU, sikap terhadap ulama dan keulamaan.[53]
Pengajian LPAI menjelaskan bahwa “keanekaragaman
yang ada di Kabupaten Jember (keragaman
agama, suku, ras maupun tradisi) tidak bisa dihindari, sudah menjadi sunnatullah.
Keanekaragama tersebut perlu dipelihara dengan baik, supaya masyarakat dapat
hidup damai berdampi-ngan dengan berbeda-beda, tidak terjadi interaktif
negative ditengah-tengah plural, telah diakui secara faktual bahwa
ketegangan-ketegangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pluralis itu,
adakalanya sebab faktor perbedaan agama, dirasakan paling kuat pengarugnya disbanding-kan
faktor kultur, ekonomi, sosial dalam kelangsungan hidup berbangsa di Jember”.
Atas dasar itu, kaum Nahdliyyin perlu mengkaji secar menda-lam tentang Khittah
Nahdliyyah terkait dengan persoalan pluralisme dan kebebasan beragama, supaya
tidak memiliki tafsiran yang keliru dan
menyimpang dari rumusan para ulama.
KH
Muhammad Firjaun Barlaman menanggapi persoalan tradisi Jengge[54] yang dilakukan oleh masyarakat Suco
Sumbersari, banyak ulama LPAI dan Kyai Langgar, Pesantren melarang tradisi
tersebut karena meyerupai sesembahan atau ritual Budha, menyembah jin dll,
tetapi Anak bungsu KH Achmad Shidiq (tokoh penggagas Khittah Nahdliyyah) dengan
berfikir tenang, luas, sabar bertindak, menjawab problem Jengge ini bahwa
masyarakat maupun ulama perlu hati-hati menyelesaikan persengketaan jengge ini,
perlu berfikir rasional, juga berfikir bagaimana wali songo memasukkan
nilai-nilai ke islaman ke dalam budaya hindu, budha, yang demikian bagian
varian dakwa yang harus dilakukan oleh ulama Indonesia dan berfikir ke
Indonesiaan.[55]
Banyak
kyai (ulama) memutuskan problematika umat diselesaikan dengan ilmu hukum dan
hukum fiqh, padahal ilmu hukum dan hukum fiqh itu sendiri belum tentu bisa
menyelesaikan dengan baik, akan tetapi perlu menggunakan dimensi hukum lain
seperti dimensi tasawuf, dimensi budaya, dimensi kearifan lokal, itu jauh lebih
baik diterapkan pada masyarakat majemuk (kebhinne-kaan), dan pada masyarakat
yang belum fashih mengenal Islam. Pertama, dimensi tasawuf,
masyarakat diajak meneyelesaikan persoalan umat (masyarakat) lewat proses
spiritual, rasa dan moral. Cara tasawuf ini mampu mengayomi masyarakat dari
berbagai masalah bahkan bisa mempererat hubungan sesama manusia.
Kedua, dimensi budaya, masyarakat diajak berpedoman
pada adat istiadat dan berbudaya dengan baik dan mengkonstruksi
kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan karakter dan watak pada suatu
masyarakat setempat. Ketiga, dimensi kearifan lokal, masyarakat
memiliki kesepekatan-kesepekatan, norma-norma, kesusilaan yang berlaku pada
masyarakat adat setempat. Norma-norma tersebut “tidak tertulis” hanya berdasar
pada kesepakatan bersama, tetapi ketika ada yang memperten-tangkan, maka
masyarakat secara otomatis tidak bersahabat dengan mereka bahkan masyarakat
akan memberlakukan mereka secara tidak baik.
Kaum
Nahdliyyin di Jember memahami kelompok-kelompok radikal sesat yang berkembang
mengelompokkan Negara sebagai wilayah teologis yang takterpisahkan dengan
institusional Indone-sia’
kelompok radikal berasumsi bahwa ketidakadilan, krisis multidimesional,
disebab-kan hukum syariat Islam tidak ditegakkan seperti “qisas potong tangan
bagi koruptor, rajam bagi pelaku zina, hukum mati bagi pembunuhan”. Pertanyaannya siapa
yang bisa menjamin bahwa Negara apabila menerapkan hukuman mati, potong tangan,
rajam, Negara bisa menjadi aman, tidak ada pembunuhan, tidak ada penzinahan di
Indonesia?
Para
ulama perumus “Khittah Nahdliyyah” berpendapat bahwa kedamaian, keadilan, bebas
dari pembunuhan, penzinahan serta kemaksiatan yang lain tumbuh karena beberapa
faktor yaitu manusia itu sendiri, aturan dan wawasan teologis-hukum yang
diterapkan. Pertama, faktor manusia itu sendiri, bahwa manusia
harus memahami ajaran Islam secara benar, jika manusia (kaum Nahdliyyin)
memahaminya dengan benar maka tidak ada yang berani melanggarnya. Kedua,
semua aturan/pancasila itu baik, yang membuat tidak baik adalah pemerintah atau
oknum yang menegak-kan hukum tidak konsisten.
Ketiga, memahami
teologis-hukum Islam secara benar dan dilaksana-kannya dengan baik. Jika konsep fiqh diterapkan dalam
suatu Negara dengan benar, maka masyarakat akan merasakan kedemaian dan
keadilan. Sebaliknya masyarakat akan kehilangan haknya akibat penerapan fiqh
yang tidak benar dalam Negara. Sebagaimana yang dialami masyarakat pada Bani
Abbasiyah, penyiksaan aqidah, cacat demokrasi dan sebagainya. Bani Abbasiyah
paham Mu’tazilah menjadi madzhab dan dasar negaranya, sehingga ulama sunni
menjadi sasaran penyiksaan para penguasa, seperti Imam Hanafi wafat diracun
penguasa Bani Abbasiyah, imam
Hambali dipenjara sebab menolak doktrin
Mu’tazilah “al-Qur’an itu makhluq. Begitu juga Saudi Arabiyah, paham Wahabi
menjadi dasar negaranya. berbeda dengan Indonesia, Ulama Nahdliyyin tidak
menjadikan NU sebagai dasar Negara
Indonesia. Padahal memung-kinkan Indonesia di-NU-kan sebab mayoritas muslim dan kaum Nahdliyyin. Merupakan kemajuan
ulama Nahdliyyin dalam memahami “fiqh-negara“ ditempatkan pada tempat yang
benar.
Termasuk
bagaimana ilmu fiqh memoertahankan keutuhan NKRI bahwa kaum
Nahdliyyin (LPAI, BM, kelompok pengajian masyarakat) sependapat bahwa kaum
nahdliyyin harus konsisten bahkan bila perlu harus fanatic pada NKRI (haram
selain NKRI) ini sebagai upaya untuk mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan
NKRI, sebagaimana ilmu fiqh yang diputuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dengan fatwa sebagai berikut :
a.
Kemerdekaan Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan,
b.
Republik Indonesia, sebagai
satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan ditolong;
c.
Musuh Republik Indonesia yaitu
Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan
menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia,
d.
Umat Islam terutama anggota NU harus
mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutunya yang ingin menjajah Indonesia
kembali,
e.
Kewajiban ini merupakan perang suci
(jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang tinggal dalam radius 94
kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu
secara material terhadap mereka yang berjuang.
Fatwa ini sampai sekarang tumbuh subur dikalangan kaum
Nahdliyyin jiwa jihadnya untuk menjaga keutuhan NKRI dari jajahan bangsa lain.
Perkumpulan ulama di Surabya juga membica-rakan fiqih Negara tentang “kemerdekaan Indonesia harus diperta-hankan dan Republik Indonesia dalah satu-satunya
pemerintahan yang sah yang harus dilindungi meskipun dengan mengorbankan harta
dan nyawa. Kemudian KH Hasyim
Asy’ari mengeluarkan fiqih jihad
dengan untuk menggugah semanagat juan kaum Nahdliyyin, popular disebut Resolusi
Jihad.
Konsep
Khittah Nahdiyyah dalam mempertahankan Indonesia sebagai negara Hukum yang
berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 di Lingkingun Kabupaten Jember dan
pandangan Kaum Nahdliyyin kepadanya
Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan atau Jam’iyyah
Diniyyah Islamiyyah Ijtima’iyyah (Organisasi Sosial Keagamaan Islam) untuk
menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan
martabat manusia. Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang
menganut faham Ahlussunnah wal Jamaah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang
berkea-dilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat
bagi semesta.[56] Yang dimaksud “berlakunya ajaran Islam yang
menganut faham Ahlussunnah wal Jamaah” bukan Negara Islam (Darul Islam)
tetapi Negara yang diatur dengan sistem apa saja, akan tetapi berdasar atau
diberlakukan dengan menggunakan nilai-nilai Islam berpaham Ahlussunnah Wal
Jama’ah. Dalam Khittah Nahdliyyah telah ditegaskan dengan jelas
tentang konsep bernegara Indonesia yaitu menjunjung tinggi pancasila dan UUD
1945 sebagai dasar Negara Indonesia.
Konsep ini yang
dikembangkan oleh Kaum Nahdliyyin bahwa wajib setiap warga Negara Indonesia
hormat dan taat pada pemimpin yang sah
selama
pemimpin itu tidak berbuat dlalim dan kemungkaran.
Wajib pula memerangi kelompok-kelompok teterte-ntu yang berusaha menistakan agama, mengkotomi dan
mengancam keutuhan NKRI. LPAI Jember mengkaji tentang apakah ada dalil dan
contoh Rasulullah mendirikan Negara Islam? Bagaimana hukum merubah dasar hukum
Negara Indonesia? Kyai LPAI dengan tegas menjawab bahwa tidak ada dalil
al-qur’an maupun perintah Rasul tentang pembetukan Negara Islam. Negara Islam
dan khilafah adalah system ijtihadiyyah. Hukum merubah dasar Negara Indone-sia
tidak boleh karena menimbulkan mafsadah (perpecahan umat[57]),
boleh karena hukum itu hasil ijtihad pada ulama terdahulu. Khittah
mempertahankan pancasila harga mati sebagai dasar hukum NKRI.
Menurut Anshor Jember Kesesatan yang paling krusial bahkan mengancam akidah
maupun stabilitas NKRI adalah kesesatan dalam menafsirkan al-Qur’an
seperti yang dilakukan aliran NII dan kawan-kawannya saat
menjelaskan ayat tentang Musa yang diperintahkan untuk menyembelih “baqaratun shafraaun” (sapi emas). Ayat ini ditafsirkan NII dan kawan-kawannya menjadi burung garuda (lambang negara
Indonesia). Selain itu, menafsirkan ayat “inna dinna indallahi Islam” ditafsirkan “sesungguhnya negara
yang diterima di sisi Allah hanyalah negara Islam”. Kesesatan yang bisa mengancam akidah umat
Islam yaitu ajaran yang disebarkan aliran Syiah yang menuhankan Ali dan bahkan
shalatnya berbeda dengan Rasulullah. Jadi, masalah Syiah selain akidah yang
sesat dan menyesatkan, dari segi politik sangat mengancam stabilitas keutuhan
NKRI. Sebab, ketika mereka sudah memili-ki power yang kuat, mereka akan melakukan pemberontakan.[58]
Ketua PCNU, Abdullah Syamsul Arifin mengataka,
Nahdlatul Ulama berkomitmen mengawal dan menjaga Republik Indonesia dan siap
menghadapi siapapun yang akan mengotak-atik NKRI. "Beberapa langkah akan
diambil PCNU Jember diantaranya “mempertegas dan mendorong pemerintah pusat
Kemenkumham dan Kemendagri untuk membubarkan ormas-ormas penentang NKRI dan
Pancasila, Pemprov, Kabupaten Jember kami harap membuka forum untuk menutup
kegiatan ormas penentang Pancasila dan merongrong NKRI,"[59]bahkan mereka akan membantai kaum Nahdliyyin
dan kaum yang berbeda aqidah dengan Syiah sebagaimana pembantaian umat Islam –
Sunniyyin yang ada di Iraq, Iran dan sekitarnya.
KH. Muhyiddin Abdusshomad, menjelaskan bahwa
“musuh” kita (Nahdliyyin) sekarang dan kedepan sangat berat karena mereka dari
kalangan umat yang mengaku beragama Islam, diantara mereka ada yang
menghalalkan sebagian umat Islam untuk dibunuh. Beliau sendiri menjadi sasaran
caci maki mereka lewat radio dan TV mereka bahkan mereka menghalalkan darah
Kyai Muhyiddin untuk dibunuh karena beliau memperjuangkan aswaja lewat tulisa
“Fiqh Tradisional dll”. sebab tidak sepaham i’tiqad, fiqh dengan i’tiqad, fiqh
mereka. Kelompok Salafi-Wahabi mengaku gerakan anti bid’ah,
mengklaim syirik pada umat Islam yang lain paham. Kelompok Hizbut Tahrir
meluncurkan Khilafah Islamiyah, merongrong NKRI melalui penolakan pada
Pancasila dan UUD 1945 serta penolakan pada keimanan terhadap siksa qubur.
sedangkan syiah menganggap umat Islam selain mereka adalah kafir, anak zina,
halal darahnya, serta memiliki konsep taqiyah untuk mengalabui semua umat
Islam. Dengan konsep taqiyah tersebut kelompok syiah berbuat baik dengan Kyai
Muhyiddin (salaman, tawadlu), mengaku saudara, mengaku seiman dan seterusnya
tapi dibelakng mereka (syiah) menghina, mengkafirkan, mengabak zinakan dll.[60]
Berikut kutipan lebih
jelas terkait kelompok-kelompok yang bermusuhan dengan kaum nahdliyyin pembela
ahlussunnah wal jama’ah, sebagai berikut:
Kelompok wahabi Mengklaim mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah dan berijtihad sendiri, Tidak peduli dengan pihak lain yang berbeda, Tidak mau membandingkan pendapatnya dengan penda-pat orang lain. Mewajib-kan orang lain untuk mengikuti pendapat-nya, Orang
yang menentangnya adalah kafir.[61] Kesyirikan orang Jahiliah lebih ringan dari pada kesyirikan umat Islam pada masanya. Kaum
Muslimin menurutnya bertawassul dengan orang-orang yang dikenal jahat, pezina,
pencuri, tidak shalat dan lain-lain.[62]
Mengikuti madzhab empat
itu syirik.[63]
Wahabi membatalkan madzhab empat “Ilmu
fiqih adalah kesyirikan, Orang
yang mengi-kuti
para mujtahid berarti mempertuhankan mereka, Kitab-kitab fiqih harus ditinggalkan, Para ulama yang menulis kitab-kitab fiqih itu adalah syetan-syetan yang berbentuk manusia dan jin yang menjadi musuh para nabi.[64]
Kaum sufi adalah golongan yang paling sesat, Beberapa ulama sufi seperti Ibn
‘Arabi dan Ibnul Faridh lebih kafir daripada orang Yahudi dan Nashrani, Orang
yang tidak mengikuti dirinya dan tidak melepaskan diri dari tasawuf berarti
kafir.[65]
Sedangkan kelompok Hizbut Tahril dengan
ideologi Khilafah Islamiyah, takwil ayat-ayat mutasyabihat, Menuduh Kaum
Muslimin Mengadopsi Konsep Qadha’ dan Qadar pada Filosof Yunani, Bukan dari
al-Qur’an dan Hadits, Perbuatan Manusia Tidak Ada Hubungannya Dengan Qadha’ dan
Qadar Allah, Konsep ‘Ishmah Para Nabi setelah diangkat menjadi Nabi, Boleh
Berciuman dengan Wanita Ajnabiyah, pengingkaran siksa kubur, Qadar menurut
Taqiuddin adalah ilmu Allah itu sendiri.[66]
Kesesatan syiah terletak pada semua diminsi
penting dalam ajaran Islam, seperti rukun iman, rukun islam, al-qur’an,
as-Sunnah, mengkafir-kan khalifah Rasyidin kecuali Ali, melecehkan Aisyah,
menganggap najis dan anak zina serta kafir kepada umat Islam di luar pengikut
syiah.[67] Disamping itu, syiah mempersoalkan imamah,
bahkan dari ekstremnya, imamah menjadi rukun iman mereka. Kehadiran HTI melukai NU yang sejak Muktamar
Situbondo pada masa Orde Baru sudah mendamaikan ketegangan pemahaman antara
Pancasila dengan Islam. "Bagaimana (ulama NU) Kyai Achmad Siddiq yang menerima Pancasila
langsung dikafir-kafirkan. Namun begitu Kyai Achmad memberi pemahaman, akhirnya diterima
semua pihak dan NU bisa menerima asas tunggal di Indonesia.[68] Miftahul
Ulum sebagai Dewan
Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Jember mendesak Pengurus Cabang NU
Jember agar menyurati
Bupati Faida, terkait keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia di kota ini (Jember).
Kepala Kepolisian Resor Jember Ajun Komisaris
Besar Sabilul Alif menjelaskan bahwa “komitmen kepolisian untuk mengamankan Jember dari konflik sosial
bermotif apapun. "Bagaimanapun keama-nan adalah hal yang paling utama. Kalau sudah
damai, Ibu mau menari-nari membangun Jember ini lancar. Tapi kalau disibukkan
hari ini ada kejadian kayak Puger, habis anggaran pemda," katanya,
mengingatkan konflik sosial di Kecamatan Puger beberapa tahun lalu. Menurut
Sabilul, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013[69],
sebenarnya pemerintah daerah berhak menjatuhkan sanksi administrasi sesuai dengan
lingkup tugas dan kewenangannya terhadap organisasi yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah
daerah juga bisa menghentikan sementara kegiatan. "Ini yang saya lakukan
kemarin, ini sebenarnya langkah diskresi yang bisa didiskusikan dengan
Forkopimda bagaimana kelanjutannya, sehingga saya untuk mengambil langkah tidak
merasa sendiri," katanya, soal penghentian kegiatan HTI di restoran New
Sari Utama, pada Senin (2/5/2016 kemarin.[70]
Menurut DANDIM Jember
“konsep perkembangan Indonesia harus dievaluasi mulai dari orde lama, baru dan
orde reformasi, ada tantangan bagi pemerintah atau kehidupan. Kalau pemerintah
tidak konsekwen, maka boleh terjadi apa yang dikuatirkan oleh masyarakat yaitu
“disintegrasi masa” Indonesia terdiri dari beberapa pulau, maka akan merdeka,
eksploitasi SDA, dikuasai asing, polisi perlu memperketat pengawasannya. Peran
penting ilmu pengeta-huan/ ipteks, disitu ada kerawanan, radikalisme, perang
ideologi, pengaruh asing menguasai, maka NKRI akan hancur.[71]
Syiah dibidang Negara
mengembangkan teori imamah bahkan menjadi rukun Islamnya. Teori ini berbeda
secara mendasar dengan konsep Sunni-konsep NU sebagai organisasi masyarakat
bahkan oleh ormas umat Islam pada umumnya. Syiah dengan teori taqiyyahnya menggalang suara
dengan slogan NKRI bahkan aqidah aswaja diakui sebagai aqidahnya, Kaum
Nahdliyyin saudaranya, tetapi dibelakang mereka menganggap umat Islam atau
Nahdliyyin adalah kafir dan anak zina; halal darahnya. Fakta membuktikan bahwa syiah di negeri Iran, Kaum
muslimin sunni ditindas, dilecehkan dan dibantai mulai
yang belita sampai yang tua, Di Negara Iraq kaum syiah; besar-besaran menghancur-kan kaum muslmin sunniyyin kehilangan segalanya. di Suriah, kaum Sunniyyin
merasakan penderitaan yang mendalam akibat kebiada-ban kelompok syiah berkuasa
merongrong keutuhan kaum muslimin sunniyin. Karena itu, perlu gerakan untuk memblokade gerakan syiah tersebut agar tidak menyebar secara luas dan besar
karena jika mereka kuat dan ada kesempatan, maka mereka akan menguasai
indonesia.
Bagaimana pandangan
Kaum Nahdliyyin (LPAI, BM, kelompok pengajian
masyarakat) tentang pembentukan suatu Negara? Kaum Nahdliyyin dalam hal mendirikan sebuah negara adalah bermadzhab/mengikuti pendapat para ulama
dan khusus-nya mengikuti hasil rumusan dan keputusan Musyawarah Nasional Alim
Ulama NU tahun 1997 yang diselenggarakan di Lombok, menetapkan bahwa membangun negara/imamah adalah wajib
syar’i. Kaum Nahdliyyin (LPAI, BM, kelompok pengajian masyara-kat) memiliki
pandangan bahwa pemerinta-han dalam suatu
negara merupakan sunnatullah yang mesti terwujud secara syar’i maupun
aqli untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara, mengatur tata
kehidupan, melindungi hak-hak setiap warga negaranya dan mewujudkan
kemaslahatan bersama.
Pembentukan negara, menurut K.H. M. Hasyim Asy’ari memiliki pandangan bahwa mendirikan negara Islam
bukanlah suatu kewajiban bagi umat Islam. Sebagaimana penjelasan beliau sebagai berikut:
“Bentuk
pemerintahan Islam tidak ditentukan. Ketika yang kita hormati Nabi Muhammad
meninggal dunia, beliau tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai bagaimana
memilih kepala negara...., jadi, pemilihan kepala negara dan banyak lagi
mengenai kenegaraan tidak ditentukan dan dapat dilaksanakan tidak terikat untuk
mengikuti suatu sistem. Semua(sistem) dapat dilaksanakan pada masyarakat Islam
pada setiap tempat.”[72]
Pandangan K.H. M. Hasyim Asy’ari tersebut, dapat
diketahui bahwa sejak dulu kaum Nahdliyyin menolak
tentang pendirian negara Islam di Indonesia. Tampak jelas bahwa NU dan para
pemimpinnya menerima bentuk negara Indonesia yang pluralistik serta memutuskan
bahwa negara Islam tidak
diperlukan bagi bangsa Indonesia, yang
diperlukan adalah Negara yang mampu member-kan ketenangan, keharmonisan,
kedaiaman dalam hidup bernegara. Artinya Negara dalam bentuk apa saja boleh
asalkan nilai-nilai kemanusiaan dan menjunjung tinggi moral agama diterapkan,
seperti pancasila dan UUD 1945.
Kaum Nahdliyyin memandang Islam dan Negara diinspirasi
oleh kitab kuning yang dikajinya yaitu Al-Ahkam as-Sulthoniyah, ditulis oleh imam Mawardi (W.1058), sebuah kitab yang bercerita
tentang pemerintahan dan politik. Menurut al-Mawardi bahwa kepemimpinan negara (imamah)
merupakan intrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan
mengatur dunia. Pemiliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis
aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduannya merupakan
dua deminsi kenabian[73]
Kaum
Nahdliyyin memahami pendapat tersebut disikapi dengan 5
prinsip :tauhid (ketuhanan), al-syura
(musyawarah), al’adalah (keadilan), al-hurriyah (kebebasan), dan al-masawah
(kesetaraan). Kelima tersebut
menujukkan bahwa Negara yang dipimpin dalam bentuk kepemimpinan harus mencapai
atau mengedepankan ke lima prinsip tersebut. Kelima prinsip tersebut Kaum
nahdliyyin memandangnya sangat cocok untuk diterapkan di Negara Indonesia dari
pada membentuk Negara Islam, sebab kondisi objektif negara Indonesia yang majemuk/plural.
Indonesia negara kepulauan yang diberi nama kepulauan “Nusantara” kurang lebih
13.000 pulau, Indonesia juga berbagai suku bangsa, bahasa, tradisi, seni bahkan
multiagama.
Berdasar pada kemajemukan kepulauan dan
keberagaman budaya, suku, bahasa, seni dan agama, Kaum Nahdliyyin meman-dang bukanlah Darul Islam,
tetapi Darus Salam artinya Negara dibentuk untuk mempersatukan kemajemukan
bangsa Indonesia tersebut, dengan tetap berprinsip pada 5 karakter tersebut dan
Islam menjadi ruhnya. Islam dan Negara Indonesia memiliki konsep substansi artinya
nilai-nilai Islam itu menjadi karakter bangsa Indonesia. secara
simbiotik-sinergitas agama
dan Negara Indonesia artinya agama memerlukan negara, Negara memerlukan agama.
Bahwa agama bisa dengan mudah disebarluaskan dengan terbentuk-nya suatu Negara.
Negara bisa maju dan sejahtera apabila menjalankan nilai-nilai agama seperti etika, moral, akhlaq, penegakan hukum,
keadilan dan sebagainya.
Metode Kaum Nahdliyyin dalam memahami aqidah Ahlussunnah
Wal Jama’ah dan menginternalisasi Khittah Nahdliyyah kepada Kaum Nahdliyyin
Menurut KH Abdul Hamid dan Muhammad Thamrin,
penjelasan pada pengajian LPAI bahwa membentengi keluarga yang paling utama
adalah menanamkan nilai-nilai aqidah aswaja pada keluarga sendiri. Perlu improvisasi
dibidang kesenian, dibidang halaqah, di bidang seminar. LPAI bisa memfasilitasi
untuk menangkal dari kelompok radikal, Amalillah, karena LPAI sebagai usaha
untuk mempertahankan nilai-nilai masyarakat, LPAI tidak bisa ditunggangi oleh
kepentingan tertentu, LPAI berfikir untuk umat.[74] KH Abdul Hamid Hasbullah menambahkan bahwa
dalam rangka melakukan amar makruf nahi mungkar merupakan tujuan LPAI sejak
berdirinya, tetapi amar makruf nahi mungkar yang dilakukan LPAI dilakukan
dengan cara yang moderat dan melibatkan banyak unsur diantaranya unsur
pemerintah; Bupati-Dewan Perwakilan Rakyat-kedinasan dan kepoli-sian, unsur
ormas masyarakat, seperti LPAI telah mengusulkan tidak setuju terhadap
pelaksanaan JVC, karena banyak modlaratnya kecuali diatur dengan baik, seperti
waktu shalat, costum, maksiat yang timbul pada pelaksanaan JVC diperhitungkan,
karena itu. konsep yang matang dari LPAI, semua kalangan termasuk pemerintah
menerima dengan baik keputusan LPAI karena LPAI tidak meminta-minta, bertujuan
menegakkan amar makruf nahi mungkar, termasuk LPAI mengusulkan kepada Bupati
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tentang penambahan jam pembelajaran Agama
di SD, SMP, SMA.[75]
Penjelasan tersebut memberikan isyarat bahwa
pola metode, strategi pengajian dan pembelajaran khittah Nahdliyyah pada masya-rakat
boleh dikembangkan dan beragam supaya semakin menarik dan berkembang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat atau para jama’ah. Seirama dengan
perkembangan peradaban manusia dan teknologi modern pembelajaran dan pengajian
pada kelompok-kelompok tentu-nya juga menyesuaikan dengan perkembangan
tersebut, supaya dapat/tidak ketinggalan dan
ada kesesuaian persepsi, sehingga dapat diterima dan berkembang pula
mengikuti-nya.
Kaum Nahdliyyin mengunakan strategi yang cukup
bagus pada internalisasi Khittah Nahdliyyah, sebagaimana hasil penelitian bahwa
pendidikan dan pesantren al-Azhar diperoleh data tentang kajian keaswajaan
dilakukan secara rutin dan lingkup luas disebarkan lewat TV Jember, pesertanya
pelajar dan masyarakat Nahdliyyin, bertujuan membentengi aqidah aswaja santri
dan masyarakat luas serta menepis paham sesat. Pada lemabaga pendidikan
formal yayasan pesantren al-Azhar ditemukan data bahwa ada kurikulum muatan
lokal pendidikan aswaja.[76] Begitu juga ditemukan data pada kegiatan
keagamaan dimasyarakat bahwa ada pengajian rutin yang dilakukan Nahdliyyin dan
Nahdliyyat “dikemas pengajian umum, pengajian yasinan, muslimatan, tahlilan”[77]
begitu juga pada pengajian LPAI ditekankan pada aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah
sesuai aqidah yang tertulis dalam Khittah Nahdliyyah.
Ikatan Takmir Masjid dan Mushalla pengajian
rutinnya dilakukan setiap hari Ahad mengkaji aqidah dan fiqih sesuai dengan
Madzhab aqidah dan madzhab fiqh dalam Khittah Nahdliyyah.[78]
Kajian aqidah dan kajian fiqih tersebut dikaitkan dengan proble-matika kekinian
dan isu-isu aqidah dan fiqih kontemporer sebagai usaha penguatan aqidah dan
wawasan fiqh Kaum Nahdliyyin dari rongrongan kelompok Salafi Wahabi, dimana
kelompok Salafi Wahabi infiltrasi terus menerus kepada para Jama’ah dan masjid
kaum Nahdliyyin.
Berdasar pada data hasil penelitian tersebut,
setidaknya, ada dua strategi yang digunakan Kaum Nahdliyyin dalam
menginter-nalisasi Khittah Nahdliyyah yaitu strategi pendidikan keNUan dan
strategi kegiatan keagamaan masyarakat basis Nahdliyyin. Pertama
Strategi pendidikan keNUan (sekolah formal dan nonformal; pesantren NU) bahwa
Khittah Nahdliyyah diperkenalkan oleh
guru di sekolah secara mendasar (tingkat awal) pendidikan keaswajaan di sekolah
formal dekenal dengan kurikulum mulok
memiliki tujuan ‘siswa maupun santri dapat memahami NU secara utuh
tentang visi misi, pemikiran, pergerakan, perjuangan NU di dalam melaksanakan
ajaran Islam dan mengembangkan Negara Indonesia’. Sedangkan di pesantren
melakukan tela’ah keaswajaan secara mendalam, disertai dengan praktik
keaswajaan, seperti doktrin aqidah aswaja, nilai-nilai kesederhanaan, cinta
tanah air, melaksanakan karakter kemasyara-katan[79]
dan sebagainya. Pada tingkat organisasi yang dinaungi oleh NU atau
kader NU dilakukan dengan bentuk pelatihan, seminar, debat, pramuka, perkemahan
siswa, santri bertujuan semangat khittah dan menumbuhkan nasionalisme santri
yang kuat.
Lembaga Bahtsul Masain NU (LBMNU) menggelar
Daurah Aswaja Internasional yang ditempatkan di Universitas Islam Jember,
kegiatan ini merupakan bagian dari ikhtiyar NU untuk mening-katkan pemahaman aqidah ahlussunnah wal jama’ah
dikalangan kaum Nahdliyyin. Hadir sebagai Narasumber Syaikh Dr. Samir Khauli
al-Husaini; Guru Besar Universitas Global Bairut, dia menjelaskan agar umat
Islam (kaum Nahdliyyin) tidak terpancing emosi pada pengakuan salafi-wahabi
sebagai kelompok salafus shalih, menurut beliau “yang dimaksud dengan salafus
shalih adalah ulama pendiri madzhab (imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali)
bukan salafiyah wabiyah, menurut beliau Salafiyah Wahabiyah kelompok dakwa
Islamiyah yang tidak memiliki pemahaman luas pada ajaran Islam, mereka hanya
mengaku salafus shalih, suka berkata syirik-syirik, bid’ah-bid’ah. Padahal
sudah dijelaskan oleh imam Syafi’i bid’ah itu dibagi dua yaitu bid’ah hidayah
dan bid’ah dhalalah.[80] Pertemuan ilmiah semacam ini Kaum Nahdliyyin
Jember diharapkan dapat menambah kemantapan aqidah aswaja dan mendalami
kesesatan aqidah salafisme wahabisme serta i’tiqad kelompok-kelompok radikal
lainnya seperti penyuara khilafah islamiyyah.
Kegiatan keagamaan masyarakat basis Nahdliyyin
dilakukang dengan model bahtsul masail, dialog interaktif. sangat efektif pada
kajian keaswajaan dan pemahaman pada masalah aqidah dan Pancasila untuk
mencegak berkembangnya sikap inheren dari kelompok transna-sional, semakin memperluas sikap dan wawa-san keagamaan agar
terhindar dari sikap fanatik buta dan lebih bersikap terbuka bagi
kelompok-kelompok yang berbeda.
Jadi metode yang digunakan
kaum Nahdliyyian (LPAI) dalam memahami konsep aswaja, konsep negara (khittah
nahdliyyah) adalah metode Bahtsul masail, ceramah/pidato, diskusi, mauidlah,
hasanah, Hikmah dan Jadal.
1. Metode Bahtsul
Masail
Bahtsul Masail merupakan bahasa arab
Baktsu artinya bahasan, kajian. Kata masail bentuk jamak artinya masalah-masalah
artinya masalah-masalah.
Dengan demikian secara bahasa adalah Bahtsul Masaail dapat diartikan pembahasan
masalah–masalah. Secara istilah Bahtsul Masail merupakan aktivitas pembelajaran atau kajian pada masalah-masalah
yang ada, kemudian mencari solusi lewat aplikasi baca kitab kuning yang cocok
dengan masalah-masalah yang diangkat sebagai topik kajian yang berpijak pada
dasar–dasar hukum Islam yang telah disepekati oleh para ulama (al-qur’an,
sunnah, ijma’ qiyas). Teknik operasional metode Bahtsul Masail beranikaragam. Mulai
dari tingkat rendah sampai pada tingkat tinggi.
a. Bahtsul Masail
model model pembelajaran siswa dikelas adalah bahtsul masail yang dilakukan
dimana seseorang atau peserta pengajian atau suatu forum diminta untuk
memberikan jawaban-jawaban yang berdasar kuat atas masalah yang diajukan.
b. Bahtsul masail
model latihan adalah pembelajaran pada masalah yang ada dan
masalah itu sudah ada rumusan atau jawaban dari bahtsul masail tingkat tinggi,
disini bertujuan proses belajar memecahkan masalah dan ketangkasan membaca
kitab kuning serta belajar bagaimana merumuskan masalah-masalah yang dianggap
penting.
c. Bahtsul
masail rumusan (I’tidlod). Biasanya
model pelaksanaan motode BM ini terlebih dahulum seorang kyai atau guru
melakukan penampungan aspirasi dan jawaban sebanyak-banyaknya. Setelah jawaban-jawaban terkumpul, kemudian materi dan rumusan yang
lebih tepat oleh pihak para ahli dibidangnya sementara pesertanya hanya diberikan hak menyampaikan
masukan-masukan yang dirasa perlu
d. Bahtsul masail
model LDNU atau pesantren adalah membahasa problematika umat yang sesungguhnya
dengan cara bebas menonjolkan semangat perdebatan (i’tirodl) dan bertarung
argumentatif (saling membantah tapi beretika) dengan dasar kitab klasik (al-kutub al-Mu’tabaroh
(kitab-kitab kuning yang i'tibar). Kemudian pendapat yang paling
rasional dan paling kuat pijakannya, maka itulah yang dijadikan putusan dan
sebagai bahan rekomdasi untuk diterapkan secara individu maupun kelompok.
Cara
keempat ini adalah cara yang sering digunakan oleh LPAI maupun kelompok
pengajian rutin kaum Nahdliyyin dalam memahami ajaran Islam ala aswaja dan mempertahankan pancasila sebagai
dasar hukum.
2.
Metode
Ceramah
Metode ceramah adalah metode pembelajaran atau pengajian dengan
cara menyajikan materi melalui
penuturan secara lisan (verbalistik) atau
penjelasan langsung kepada sekelompok atau
pembelajar.
Metode ceramah
merupakan metode kuno tetapi sampai saat ini
sering digunakan karena disebabkan factor kelebihan pada metode ini yaitu
a. Metode Ceramah
merupakan metode mudah dilakukan dan
efesien. Mudah dalam arti bahwa metode ceramah bisa dilakukan dengan mengandalkan
suaru guru, kyai, tidak terlalu
memerlukan persiapan yang matang. Efesien artinya pembela-jaran atau pengajian tidak
memerlukan peralatan-peralatan yang terlalu lengkap. Cukup bermodal ilmu dan suara sudah terlaksana
dengan baik.
b. Metode ceramah dapat
menyajikan materi pelajaran yang luas. Artinya, materi pelajaran yang banyak
dapat dirangkum atau dijelaskan pokok-pokoknya oleh guru dalam waktu yang
singkat.
c. Metode ceramah dapat
memberikan pokok-pokok materi yang perlu ditonjolkan sesuai dengan kebutuhan
dan tujuan yang ingin dicapai.
d. Melalui ceramah, guru, kyai, ustadz dapat mengontrol keadaan jumlah peserta
yang banyak
Tetapi dari kelebihan tersebut
ada juga kekurangannya karena setiap teori atau metode tidak ada yang paling
sempurna pasti memiliki sisi kelemahan. Kelemahan pada metode ceramah adalah:
a. Peserta pengajian atau siswa
memiliki pemahaman yang sempit pada materi hanya menguasai ilmu yang
disampaikan guru atau ustadz. Jika guru atau ustadz keliru menyampaikan maka
jama’ah atau siswa menjadi sesat, jika guru atau ustadz radikal maka murid
menjadi radikal. Modah mendoktrin peserta.
b. Guru, ustadz mengandalkan bahasa verbal dan peserta/siswa mengandalkan kemampuan auditifnya. setiap orang memiliki tingkat pendengaran yang berbeda, kemampuan yang
tidak sama.
c. metode ceramah membosankan.
Keadaan seseorang dalam pembela-jaran ceramah terkadang peserta atau siswa sama
sekali tidak mengikuti jalannya penjelasan guru karena pikiran siswa melayang
kemana-mana ada pula yang mengantuk dll.
d. Sulit mengukur tingkat
keberhasilan peserta
3. Metode Pidato
Pidato adalah metode
pembalajaran atau pengajian atau pembicaraan, atau orasi ilmiah untuk
menyampaikan materi penting yang harus dipahami oleh orang banyak (publik). Pidato biasanya dipraktikkan
pada pengajian umum untuk menjelaskan konsep Islam mengenahi topik yang
ditentukan oleh tim atau lembaga atau yang lainnya dengan tujuan menyampaikan
hal-hal yang ingin dipahami oleh publik.
Metode pidato yang baik sangat sulit, membutuhkan
latihan terus menerus atau pembiasaan, tidak semua orang bisa berpidato yang baik membuat
orang terhipnotis atau kekaguman akan materi yang disampaikan. Pidato yang baik
adalah pidato yang disenangi orang dan dapat dengan mudah visinya dimengerti
serta memberikan dampak positif bagi
khalayak ramai. Teknik berpidato
dibutuhkan penampilan
gagah, gaya bahasa
yang indah, dan
ekspresi dan
percaya diri yang tinggi,
agar orang yang mendengan, melihatnya terkesima dan terpengaruh apa
yang telah sampaikan.
4. Metode diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara
penyajian materi dimana tutor atau seorang guru memberikan kesempatan kepada
para peserta atau murid untuk bertukan fikiran (pro-aktif) untuk mencari
berbagai alternatif sebagai pemecahan atas masalah yang sedang dikajinya. Para
akhli pendidikan metode
diskusi bisa berbentuk The social problem meeting,
The open-endet
meeting, The
educational-diagnosis meeting.
The social problem meeting para peserta atau
kelompok membicarakan
untuk mencari jawaban atas masalah
sosial di kelas atau di lingkungan dengan tujuan peserta atau kelompok ikut
mengamati dan
berperan dengan
dengan peran yang telah ditentukan. The
open-endet meeting adalah para
peserta berdiskusi mengenai
masalah-masalah yang berhubungan
dengan kehidu-pan
mereka sehari-hari,
mendesain kehidupan
di sekolah dengan kehidupan yang
sesungguhnya di lingku-ngan sekitar mereka tinggal.
The educational-diagnosis meeting adalah para peserta
membincang-kan masalah materi atau kasus-kasus yang terjadi dengan maksud untuk memecahkan
dan saling mengoreksi diri
dan mawas diri agar
masing-masing peserta atau anggota
memperoleh solusi
yang lebih baik.
Langkah-Langkah Diskusi:
a. Tutor atau guru
mengemukakan masalah yang akan didiskusi-kan dan memberikan pengarahan
seperlunya menge-nai
cara-cara pemecahan-nya.
b. Dengan pimpinan
tutor atau guru,
peserta/siswa
membentuk kelompok diskusi, memilih pemimpin diskusi (ketua, sekretaris /pencatat, pelapor dan sebagainya
(bila perlu), mengatur tempat duduk, ruangan sarana dan sebagainya.
c. Para peserta
atau siswa berdiskusi di kelompoknya masing-masing sedangkan guru berkeliling
dari kelompok satu ke kelompok yang lain untuk menjaga serta memberi dorongan
dan bantuan sepenuhnya agar setiap anggota kelompok berpartisipasi aktif supaya
diskusi bejalan dengan lancar.
d. Kemudian tiap
kelompok diskusi melaporkan hasil diskusinya. Hasil-hasil diskusi yang
dilaporkan ditanggapi oleh semua peserta atau siswa (terutama bagi kelompok lain).
Tutor atau guru
memberi ulasan dan menjelaskan tahap-tahap laporan-laporan tersebut.
e. Para peserta
atau siswa mencatat
hasil diskusi tersebut, dan para tutor/guru mengumpulkan hasil diskusi dari
tiap-tiap kelompok
5.
Metode Muizhah al-hasanah
Metode Muizhah
al-hasanah adalah perkataan yang bersahabat, lunak, baik, nasihat. Jadi Mauizah al-hasanah atau metode nasihat dengan cara yang baik, artinya mamberi-kan nasihat
kepada peserta atau murid dengan cara
yang bijak, baik, santun, etika, menyentuh hati, rasional, lemah lembut, menghindari sikap arogan, dan tidak menyalahkan terus
menerus, tidak menyinggung, tidak menyakti, tidak menyebut
kesalahan di muka umum, dilakukan secara
sabar dan penuh dengan penghara-pan. Tafsir al-Maraghi, menafsirkan metode al-mauizhah al-hasanah sebagai
berikut:
a.
Pelajaran dan nasihat yang baik, berpaling
dari hal perbuatan jelek melalui tarhib dan targhib (dorongan dan
motivasi); penjelasan, keterangan, gaya bahasa, peringatan, petutur, teladan,
pengarahan dan pencegahan dengan cara halus.
b.
Bi al-mauizhah al-hasanah adalah melalui
pelajaran, keterangan, petutur, peringatan, pengarahan dengan gaya bahasa yang
mengesankan atau menyantuh dan terpatri dalam nurani.
c.
Dengan bahasa dan makna symbol,
alamat, tanda, janji, penuntun, petunjuk, dan dalil-dalil yang memuaskan
melalui al-qaul al-rafoq (ucapan lembut dengan penuh kasih sayang);
d.
Dengan kelembutan hati menyentuh
jiwa dan memperbaiki peningkatan amal;
e.
Melalui suatu nasihat, bimbingan dan
arahan untuk kemaslahatan. Dilakukan dengan baik dan penuh tanggung jawab,
akrab, komunikatif, mudah dicerna dan terkesan dihati sanubari mad’u;
f.
Suatu ungkapan dengan penuh kasih
sayang yang dapat terpatri dalam kalbu, penuh kelembutan sehingga terkesan
dalam jiwa, tidak melalui cara pelanggaran dan pencegahan., mengejek,
melecehkan, menyudutkan atau menyalahkan, dapat meluluhkan hati yang keras,
menjinakkan kalbu yang liar;
g.
Dengan tutur kata yang lemah lembut,
pelan-pelan, bertahap, dan sikap kasih sayang dalam konteks dakwah, dapat
membuat seseorang merasa dihargai rasa kemanusiaannya sehingga dapat merespon
positif dari mad’u.[81]
6.
Metode Hikmah
Kata Hikmah diartikan bijaksana,
moral, budi, etika, akhlaq yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan
mengambil pelajaran yang paling berharga dari sebuah pekerjaan arau aktifitas.
Metode hikmah yang dipakai oleh LPAI adalah sebuah metode yang mengedepankan moral, hati dalam menjelaskan ajaran-ajaran
Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang
komunikatif, sejuk dan penuh motivasi.
7. Metode Jadal
Metode Jadal adalah
metode debat dimana ketika seseorang meragukan tentang kehujjahan sebuah hukum
maka debatlah mereka dangan ayat-ayat Allah. Salah satu ayat al-qur’an yang
menantang orang-orang yang meragukan al-qur’an bahwa alqur’an adalah wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan sebagai petunjuk semua manusia.
وان كنتم فى ريب من ما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة
Artinya: Jika kalian meragukan
apa yang Allah turunkan kepada Muhammad maka buatlah al-Qur’an tandingan
walaupun hanya satu ayat (satu surat)
Metode Jadal
menurut Manna Khalil al-Qattan adalah bertukar-pikiran dengan cara bersaing dan
berlomba untuk mengalahkan lawan, mengingat kedua belah pihak yang berdebat itu
mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari
pendirian yang dipeganginya.[82] dalam Al-Quran tidak memakai cara
yang telah dipertahankan oleh para ahli kalam yang menggunakan metode jadal
yang memerlukan adanya muqaddimah (premis) dan natijah (konklusi).
Misalnya, cara ber-istidlal (inferensi) dengan sesuatu yang sifatnya kully
(Universal) terhadap juz’iy (parsial) dalam qiyas syumul, atau
mengambil dalil dengan salah satu juz'iy terhadap yang lain dalam qiyas
tamtsil dan atau ber-istidlal dengan juz’iy terhadap kully
dalam qiyas istiqra'.[83]
Kemudian Manna'Khalil al-Qattan memberikan 3 alasan tentang metode Jadal ini
sebagai berikut: (a) al-Quran turun dalam bahasa Arab yang mengajak mereka
dengan bahasa yang mereka pahami, (b) Bersandar pada fitrah jiwa, yang meyakini
pada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran
menda-lam dalam ber-istidlal lebih kuat pengaruhnya dan lebih efektif hujjah-nya,
(c) Meninggalkan pembicaraan yang jelas, dan memperguna-kan tutur kata yang
sukar dan pelik, adalah merupakan kerancuan dan teka-teki yang hanya dapat
dimengerti oleh kalangan ahli (khas). Cara ini sering dipakai oleh para ahli mantiq
(logika), walaupun ini tidak sepenuhnya benar. Dalil-dalil tentang tauhid serta
kehidupan diakhirat yang terungkap dalam al-Quran adalah sesuatu tertentu yang
dapat memberikan makna yang ditunjukkan secara langsung tanpa memasuk-kannya kedalam qadliyah kulliyah
(universal proposition).[84]
Az-Zarkasyi menyatakan sehubungan
perbedaan dalam metode Jadal; "Ketahuilah bahwa Quran telah mencakup
segala macam dalil dan bukti. Tidak
ada satu dalil pun defenisi
mengenai sesuatu berupa persepsi akal juga dalil naqiI yang menyeluruh
kecuali telah di muat dalam kitabullah. Akan tetapi dikemukakan dengan menurut
adab dan kebiasaan bangsa Arab. Dan tidak seperti yang diuraikan oleh para ahli
Ilmu Kalam." Hal ini disebabkan oleh dua alasan; Pertama,
mengingat firman Allah dalam surah Ibrahim (14:4)"Kami tidak mengutus
seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, Kedua, bahwa
orang yang cenderung menggunakan argumentasi yang sukar dan pelik itu
sebenarnya ia tidak sanggup menegakkan hujjah dengan kalam agung. Sebab,
orang yang mampu memberikan pengertian (persepsi) tentang sesuatu dengan cara
yang lebih jelas yang bisa dipahami sebagian besar orang. Oleh karena itu,
Allah memaparkan seruan-Nya dalam bentuk argumentasi paling agung yang meliputi
juga bentuk paling pelik, agar orang awam dapat memahami hujjah yang jelas
dalam al-Quran, begitu juga sisi sulitnya dapat dipahami oleh pemahaman para
sastrawan.[85]
Khittah Nahdiyyah dan Nahdlatul Ulama
menjadikan Generasi muda Kaum Nahdliyyin memiliki sikap Nasionalisme
Kaum Nahdliyyin (“GP Anshor,
pemuda NU, Mahasiswa NU, PMII NU, muslimin, muslimat/masyarakat Nahdliyyin)
dilarang melakukan tindakan anarkhis, merugikan pihak lain, demonstrasi tidak
bermartabat. Tetapi berfikirlah, bersikaplah dan beramaliahlah serta
berikhtiarlah dengan cara yang makruf,
santun, manusiawi dan bermartabat, hormatilah perjuangan para ulama NU dahulu yang berjuang untuk menggapai Indonesia sejahtera, Indonesia besar, Indonesia maju,
Indonesia merdeka.
Nahdliyyin pro aktif mengikuti persoalan-persoalan
yang umat yang ada di Indonesia juga internasional, termasuk marak-nya
persoalan pengakuan Nabi palsu, penistaan agama dan sebagainya. Maka Kaum Nahdliyyin tidak boleh pecah dan lengah soal dugaan nabi palsu dan penistaan agama, seperti akhir-akhir
ini penistaan agama yang dilakukan oleh
ahok[86] kaum Nahdliyyin
lakukanlah apa yang harus dilakukan, tetapi tidak boleh melampaui batas,
bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, biarlah
hukum yang menyelesaikan kasus akho. tapi Nahdliyyin tidak boleh lengah sedikitpun dengan
susupan-susupan kaum radikal, titipan isu yang membahayakan NKRI, stabilitas
Nasional dan toleransi antar umat beragama, tarjet utama mereka bukan ahok,
terlalu kecil ahok hanya entry point, tarjet mereka hancurnya Islam moderat di
Indonesia Islam yang ramah diganti dengan Islam yang penuh kebencian seperti
yang meluluhlan-takkan
Negara-negara timur tengah. Hawanya cukup terasa semua isu keagamaan dan politik
akhir-akhir ini rawan sekali ditunggangi. Jangan muda termakan isu apalagi
mudah marah sesame muslim. Mari saling mengingatkan untuk sesama meski resiko
dibully. Jangan sedikitpun takut dibenci, takutlah melihat saudara-saudara kita
yang awalnya ramah semakin mudah membenci.[87]
Ketua PCNU Jember menjelaskan terkait dengan pendapat
Nusron Wahid ‘silahkan dikaji al-Qur’an secara baik, karena al-Qur’an benda
mati yang bisa ditarik kemana-mana “ke kanan dan ke kiri”, tidak bisa berhenti
disalah satu titik, semakin banyak kajian keislaman justru semakin Nampak
terasa kelebihan, kemukjizatan al-qur’an. Terkait dengan kasus Nusron Wahid,
ketua PCNU setuju untuk mengklarifikasi pendapat Nusron terkait pembelaan pada
peryataan akhok “dibohongi al-Maidah 51” Ketua PCNU meperbo-lehkan untuk dikaji
secara mendalam di LBMNU dengan catatan “mampu menempatkan pada tempatnya;
porsi yang benar ditempatkan pada kebenaran, yang salah ditempatkan yang salah,
juga harus mengetahui penempatan yang benar ditempatkan ditempat yang salah,
yang salah ditempatkan yang benar; karena ada pemilukada DKI Jakarta,
jangan dipengaruhi oleh kepentingan terhadap penyataan Nusron “yang paling
benar adalah Allah dan Rasulnya” pernyataan ini benar tidak bertentangan”
berbeda misalnya “yang tahu hanya Allah dan Rasulnya”. Mengetahui ilmu
tafsir pada ayat-ayat yang bukan mutasyabihat, shabat dan para ulama’ pun
mengetahuinya, tetapi karena bahasa yang dipakai oleh Nusron Wahid “yang
paling” mengetahui hanyalah Allah dan Rasulnya, maka pernyataan itu benar,
dan perlu ditempatkan pada tempat yang benar dan ulama tafsirpun membenarkan.[88]
LPAI, BM, pengajian Rutin masyarakat Kaun Nahdliyyin tidak diragukan lagi pengabdiannya pada bangsa
dan Negara Indonesia, sejak peperangan melawan penjajah, merebutkan
kemerdekaan, pasca kemerdekaan hingga pengembangan kemer-dekaan Indonesia sampai saat ini, kaum Nahdliyyin dan NU eksis mengembangkan sikap nasionalis budaya,
nasionalis kenegaraan, nasionalis politik, nasionalis pendidikan, nasionalis
social, nasionalis agama, nasionalis pemberantasan korupsi dan seterusnya.
Bentuk nyata generasi muda Nahdliyyin Jember akhir-akgir ini mengadakan kemah
santri sebagai renungan dan melanjutkan cita-cita ulama Nahdliyyin[89],
upacara santri dalam rangka memperingati hari santri nasional dimeriahkan
dengan banyak keterampilan, adalah membaca al-qur’an, baca kitab kuning, 1
miliar selawat Nariyah[90],
jalan sehat santri, dan sebagainya.
Menurut Halim Iskandar[91]
bahwa kegiatan kemah santri itu mengajak warga Nahdliyyin untuk meneladani para
Ulama dan santri yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sebab selama
ini para ulama dan santri seolah sengaja ditenggelamkan dalam sejarah padahal
tampa adanya peran serta para ulama dan santri belum tentu Indonesia
memproglamasikan kemerdeka-annya. Dengan resolusi jihad ini umat Islam tampa
kenal takut berjuang memerangi penjajah.[92]
Disamping itu menurut Ayub Junaidi juga akan ada kirab Napak Tilas perjuangan
al-Marhum KH As’ad Syamsul Arifin.[93]
Sejalan dengan penjelasan Jokowi “dalam kesempatan tersebut, mengajak para
santri diseluruh tanah air untuk kembali mengenang semangat jihad kemerde-kaan.
71 tahun yang lalu para ulama yang dipimpin oleh rais akbar NU mengeluarkan
resolusi jihad untuk mengusir penjajah yang ingin merusak kemerdekaan Indonesia”.[94] Melalui hari santri (22 Oktober) menunjukkan bahwa Negara mengakui peran serta
kaum Nahdliyyin terhadap keutuhan NKRI ini, nahdliyyin tidak bisa diremehkan
apalagi dipandang marjinal di dalam mengisi kemerdekaan NKRI.
Pembentukan nasionalisme kaum Nahdliyyin tersebut
hanya bagian kecil saja, tetapi di pesantrenlah tempat mengkader kaum
Nahdliyyin (santri) secara utuh dan kokoh. Pesantren adalah warisan tradisi
pendidikan Islam tradisional yang mempersiap-kan santri alim ilmu agama
(tafaqquh fiddin).[95]
Seiring dengan perkembangan pesantren, ia mempersiapkan santrinya (Nahdliy-yin)
memiliki tafaqquh diberbagai kebutuhan kekinian, seperti ICT, Bahasa Asing,
social, budaya, wawasan kebangsaan, organisasi dan seterusnya menjadikan kitab
kuning sebagai kajian utama dalam tradisi pembelajarannya.[96]
Bahkan sejak pesantren didirikan, pro aktif di dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia, wawasan kebangsaan, perumusan pancasila, percaturan politik,
Pembina-an social ekonomi, kebudayaan Indonesia dan seterusnya. Kitab Kuning
(KK) sebagai bahan memrperkaya
wawasan dan memperluas pemahaman kepada sumber otoritatif (al-qur’an dan
al-hadits) yang berpijak pada pemikiran ulama pembangun madzhab atau ulama yang
diakui otoritas-nya. Hampir tidak diragukan lagi KK mempunyai peran
besar tidak hanya dalam transmisi ilmu pengetahuan Islam, bukan hanya dalam komonitas santri tetapi
juga ditengah umat muslim di Indonesia secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, KK
khususnya yang ditulis oleh para ulama dan pemikir Islam di kawasan ini
merupakan refleksi intelektualisme dan tradisi keilmuan Islam di Indonesia
bahkan, dalam batas tertentu KK juga merefleksikan perkembangan sejarah sosial
Islam di kawasan ini.[97]
Oleh karena itu, nampak penting pendidikan pesantren sebagai ciri khas keilmuan
berbasis
tradisi dan Kitab Kuning. Tradisi
intelektual KK tersebut mampu membentuk membentuk sikap nasionalisme santri. Apalagi akibat
penjajahan Belanda, kelompok radikal sesat, semakin kuat nilai-nilai
nasionalismenya.
Hubungan Kaum Nahdliyyin dengan kelompok
Radikal Sesat dalam konteks bernegara
Ketua MUI Jember menjelaskan bahwa “Persoalan
Radikalis-me, kelompok sesat, takfir, menajiskan dan seterusnya, belum
ditangani secara serius oleh para ulama dan pemerintah, itu disebabkan karena
keterbatasan data-data sebagai bukti bahwa kelompok tersebut sesat, takfir dan
menagiskan kelompok lain (kamu Nahdliyyin), Prof. Dr. KH, Abdul Halim Soebahar,
MA justru balik bertanya “apakah isu-isu radikalisme, takfir orang tuanya yang
beda kelompok, dan menajiskan kelompok lain, ada bukti yang kuat? Ternyata
beliau membenarkan bahwa isu-isu kesesatan tersebut “ada juga yang berasal dari
anggapan-anggapan “katanya-katanya si fulan” sehingga sulit untuk melakukan
tabayyun, karifikasi, identifikasi dan bahkan direhabilitasi kepribadian-nya. MUI pernah menerima
pengaduan masyarakat dengan data yang kuat terkait kesesatan pesantren terbuka
‘Rabbany” Sumbersari, MUI berhasil menengahi konflik tersebut, MUI
mendukung “menghentikan (menutup)
aktifitas pesantren itu sementara, sebelum pesatren tersebut memenuhi
persyaratan sebagaimana pesantren yang ada di Kabupaten Jember. Masyarakat
menilai pesantren tersebut mengajarkan ajaran yang tidak tepat bahkan dianggap
sesat- salafi-wahabi; takfir, membid’akan dan menganggap syirik masyarakat,
sehingga masyarakat sekitarnya merasa resah dengan kehadiran pesantren
tersebut. Sedangkan menurut versi pengelola pesantren itu sendiri pembelajaran
di pesantren itu, tidak ada yang melanggar ajaran Islam justru sangat bagus
belajar al-Qur’an.[98]
Banyak ormas Islam
moderat di Jember ikut menyaksikan kesalahan yang dilakukan pesantren tersebut,
termasuk Ketua PCNU Jember pernah mengundang pendirinya (ustadz Heri Yudi)
untuk klarifikasi pesantren tersebut’ “sesat (salah) atau tidak”. Banyak pertanyaan
yang diberikan Ketua PCNU Jember , salah satunya adalah menanyakan tentang
tafsir dan nahwu yang terkandung dalam surat al-Fatihah ayat ke dua lafat
al-hamdulillahi rabbil alamin” ternyata ustadz Heriyudi tidak ingat, tidak bisa
menjawab.[99]
Pesantren salaf, khalaf
dan pesantren terbuka maupun permodelan harus memberikan sumbangsih pada
penguatan aqidah Aswaja dan pengembangan ilmu pengetahuan serta bersenergi
dengan tradisi masyarakat setempat tidak bisa kontradiktif dengan budaya yang
diasumsikan sebagai kearifan lokal (love wisdom). Pesantren ini dianggap
masyarakat penen-tang kearifan local dan menyebarkan aqidah yang kebetulan ada
kemiripan dengan kelompok salafi wahabi; anti bid’ah, anti tahlil; tidak
berhubungan baik dengan budaya lokal.
Khittah Nahdliyyah menjelaskan dua kensep
tentang hubungan hidup bermasyarakat dan bernegara yaitu konsep ukhuwah dan
konsep sikap kemasyarakat NU. Konsep
ukhuwah yang harus diterapkan oleh Kaum Nahdliyyin adalah Ukhuwah Wathaniyah,
Ukhuwah Basyariyah/ Insaniyah dan Ukhuwah Islamiyah.
Ukhuwah Wathaniyah adalah persaudaraan
yang diikat dan diperkuat atas dasar
hubungan tanah air dan bangsa Indonesia. Ukhuwah Basyariyah/ Insaniyah adalah persaudaraan yang didasarkan pada
hubungan sesama manusia yang menempati di jagad raya ini bahkan berhubungan
baik dengan isi alam jagat raya. Ukhuwah
Islamiyah adalah hubungan khusus kemanusiaan yang didasarkan
pada seislam, seiman. Sedangkan sikap/ karakter kemasyarakatan Kaum Nahdliyyin adalah karakter Tawassuth, Tasamuh,
I’tidal dan karakter amar ma’ruf nahi mungkar. Karakter Tawassuth adalah sikap moderat,
pertengahan dan keseimbangan. Karakter Nahdliyyin adalah karakter keseim-bangan
hidup kompleks manusia di dunia dan bahkan masalah akhirat. Seperti keseimbangan pemahaman di
bidang:
a. Aqidah yakni NU
berkeseimbangan penggunaan dalil naqli dan aqli dan tidak mudah memvonis kafir
pada orang yang masih menjalankan misi keIslaman. Berusaha dengan keras untuk
memurnikan aqidah Islamiyah.
b. Syari'ah yaitu NU berpegang
teguh pada sumber ajaran Islam yakni al-qur'an dan as-sunnah serta dilanjutkan
dengan Ijma' dan qiyas. Tidak berbeda pandangan mengenahi dalil naqli yang
sudah bersifat qath'i akan tetapi memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengemba-ngkan ijtihadnya pada dalil-dali yang bersifat zhanni
(dugaan/belum jelas)
c. Tasawuf atau akhlaq yaitu NU
mencegah sikap ekstrim, mencontoh akhlaq rasulullah dan para sahabatnya,
berilmu dan beribadah, berakhlaq as-syaja'ah, tawadhu', al-jud dan al-karom dan
sebagainya
d. Pergaulan. NU Bergaul dengan
siapa saja dan kompromistis dalam perlombaan kebaikan, akan tetapi NU tidak
mencam-puradukan
keimanan.
e. Pemerintah. NU mentati
pemerintah dan undang-undang yang berlaku dan ikut serta dalam mengembangkan
bangsa dan Negara menjadi maju, berkembang adil, makmur dan sejehtera hidupnya
secara bathin maupun lahir.
f. Bidang seni dan kebudayaan,
peradaban manusia. NU menjem-put dengan baik bahkan menjadi pelakunya karena NU
memiliki pemahanam bahwa budaya yang lama bernilai baik, maka dipelihara,
budaya baru tetapi kontribusinya jelek, maka NU mencampakkannya jauh-jauh
begitu juga budaya yang datang dari luar Islam tetapi sejalan dengan visi misi
Islam, maka NU menerimanya sesuai dengan ungkapan:
اَلْمُحَافَظَةُ
عَلَى اْلقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَاْلَاخْذُ بِاْلجَدِيْدِ اْلَاصْلَاحِ
Peradaban
yang lama yang baik dipelihara dan dikembang luaskan, sedangkan peradaban yang
baru yang lebih baik dicari, diambil dan kembangbiakan serta dimanfaatkan
sebaik-baiknya.[100]
Karakter Tasamuh adalah sikap toleran kaum nahdliyyin terhadap perbedaan agama (furu'iyah,
khilafiyah bukan masalah pokok agama), pendapat, organisasi, social, budaya ras dan sebagainya. Tidak saling
menggangu. Karakter tawazun adalah sikap keseimbangan hidup, tidak berat sebelah dan tidak berlebihan dalam beragama maupun
hidup berbangsa bernegara. Karakter I’tidal adalah adalah sikap tegak, sikap lurus, tidak condong atau berat kekiri atau
kekanan. Nahdliyyin mengemban amat agar berbuat tegak, adil dan lurus dalam
mengisi kehidupan dunia ini dan melarang berbuat curang (tidak adil) dalam
keadaan apapun dan dimanapun berada. Karakter amar ma’ruf nahi mungkar, NU selalu memiliki sikap peka terhadap
penegakan perbuatan baik, berguna, bermanfaat bagi kehidupan agama, bangsa dan
negara dan memusnahkan segala bentuk kemaksiatan yang dapat merugikan dalam
kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Atas dasar ukhuwah dan
sikap kemasyarakatan tersebut, kaum Nahdliyyin berhubungan dan berserikat baik
dengan siapa saja demi tujuan hidup damai sebagai warga Negara dan menempati
tanah air bangsa Indonesia. Karena itu, Kaum Nahdliyyin akan membela pada warga
Negara yang berbuat baik apabila mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari kelompok-kelompok
tertentu, walaupun mereka berbeda paham, kelompok, keyakinan, budaya dan
sebagainya. Sebalik-nya Kaum Nahdliyyin tidak ada toleran apabila kelompok
tertentu melakukan pelecehan agama, pelecehan manusia, dan melakukan tindakan
mengan-cam keutuhan NKRI, maka Kaum Nahdliyyin berada pada barisan terdapan
untuk memerangi mereka. Hal ini tergambar pada peran NU pasca peperangan
melawan penjajah yang dipusatkan di pesantren-pesantren dimana pesantren itu
sebagai markas pengkaderan masyarakat dan merekrut prajurit santri yang
tangguh, sukarelawan yang memiliki keberanian yang tinggi, karena mereka telah
didoktrin dengan jihad fi sabilillah (barisan Hizbullah dan Sabilillah,
resolusi jihad NU) untuk membela agama, membela Negara dan bangsa Indonesia
merdeka sehingga bangsa Indonesia berhasil mengusir penjajah dari tanah air
ini.
Catatan Akhir
Banyak paham
radikal-sesat bermunculan di Jember, dapat meresahkan masyarakat bahkan dapat
mengancam keutuhan NKRI. Maraknya paham tersebut kaum Nahdliyyin Jember tidak
diam, tetapi melakukan perlawanan terhadap mereka (yang beraqidah sesat)
dilawan dengan aqidah aswaja, paham keras delawan dengan nasionalisme. Usaha Kaum Nahdliyyin Jember dalam menjaga aqidah aswaja dan keutuhan NKRI
melalui penerimaan pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara Indonesia. bagi
kaum Nahdliyyin Jember, aqidah
aswaja adalah aqidah Islam “standard” yang dilegitimasi oleh Rasulullah.
Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar Negara Indonesia yang resmi, karenanya
setiap warga Negara khususnya kaum Nahdliyyin wajib menjunjung tinggi
sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Khittah Nahdliyyah.
Daftar Rujukan
Abdul Muchith Muzadi, 2003, Apa dan
Bagaimana Nahdlatul Ulama, Jember, PCNU Jember
Abdurrahman Wahid, 2009. Ilusi Negara Islam
Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia. Jakarta, The Wahid Institute
Ahmad Khalid, 2014. Kuliah Aswaja I Kaidah Ahlussunnah Wal Jama’ah
(dinamika pemikiran dan doktrin} Jember, UIJ Kyai Mojo,
Ahmad Khalid, 2015, Khittoh Nahdiyah sebagai upaya pengembangan
kehidupan keberagaman dan keagamaan di Indonesia, Jembert. UIJ Kyai Mojo
Ahmad Syafi’I Maarif, 2009, Prolog;
Masadepan Islam Di Indonesia; Ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional Di Indonesia. Jakarta, The Wahid Institute
Al-Hafizh Ibn Asakir, Tabyin
Kidzb al-Muftari, (Damaskus: Percetakan al-Taufiq, 1347 H)
Ali Masykur Musa, 2011, Nasionalisme
Dipersimpangan Pergumulan NU Dan Paham Kebangsaan Indonesia, Jakarta, Erlangga
Asrudin Azwar. 2015, Pengamat Hubungan Internasional Dalam Sebuah Diskusi Di Gedung
Joeang, Jakarta Pusat, Selasa (31/3/2015)
Azyumardi Azra, 1999, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi;
Kelompok Sempalan di Kalangan Mahasiswa
PTU Anatomi sosio historis. Jakarta, Logor Wacana Ilmu
Azyumardi Azra, 1999, Konteks Berteologi Di
Indonesia Pengalaman Islam. Jakarta, Paramadina
Azyumardi Azra, 2012, Ekstremisme Wahabi dan Islam Washatiyah, Yogyakarta,
Pustaka Pesantren
Badri Yatim, 2001, Soekarno, Islam dan
Nasionalisme, Bandung, Nuansa
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif: Komunikasi,
E konomi, K ebijakan Publik,dan
Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana.
Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, Tahun
2005, halaman 90, Rekomendasi MUI poin 7, Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah.
http://id.wikipedia.or/wiki/ Mantan LDII blak-Blakan berbicara
kesesatan LDII atau bisa dicek pada Lembaga_Dakwah_Islam_Indonesia
Jember (beritajatim.com) -
Anggota DPR RI dari Fraksi PKB Dapil Jawa Timur IV (Jember-Lumajang) H.M.
Syaiful Bahri Anshori, MP menggelar sosialisasi 4 pilar (Pancasila, UUD
1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) di Jember, Kamis (21/4/2016) di Gedung
Aula PCNU Kabupaten Jember.
Abdul Muchith Muzadi,
2006. Mengenal Nahdlatul Ulama. Masjid Sunan KaliJaga. Jember. Hlm. 11
Achmad Shiddiq, 2006, Khittoh
Nahdiyah, Surabya, Khalista
M. Hasyim Asy’ari, 1971. Qanun Asasi
Nahdlatul Ulama, Menara Kudus, hlm. 37 dalam
Zamakhsyari Dhafier, 2011, Tradisi
Pesantren; Studi pandangan hidup kyai dan visinya mengenahi masa depan
Indonesia. Jakarta. LP3ES,
M. Hasyim Asy’ari, Pendiri NU, dalam Zudi
Setiawan, 2007, Nasionalisme NU, Semarang, CV. Aneka Ilmu
Moh. Dawam Anwar, 1997. Mengapa Kita
Menolak Syi’ah, Masjid Istiqlal Jakarta, LPPI
Abdul Muchith Muzadi.
2003. Apa Dan bagaimana Nahdlatul Ulama. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama
Jember.
M. Amin Abdullah al-Banteni, 1984, Pedoman
Pokok Dalam Kehidpan Keagamaan Berdasarkan Ahlussunnah Wal Jama’ah, Banten
KOMPAS.com/Abba
Gabrillin Pengamat hubungan internasional Asrudin Azwar seusai menjadi
pembicara dalam sebuah diskusi di Gedung Joeang, Jakarta Pusat, Selasa
(31/3/2015).
Makalah LDII berjudul Pentingnya Pembinaan Generasi Muda
Jama’ah dengan kode H/ 97, halaman 8.
Maskoer Jasin, 2008, Ilmu Alamiah Dasar,
Jakarta, Raja Wali Press
Mastuki HS, 2010. Kebangkitan Kelas
Menengah Santri Dari Tradisionalisme, Liberalisme, Postradisionalisme Hingga
Fundamentalisme. Banten, Pustaka Dunia
Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan
lima dasar isi dari pancasila.
Suharsimi Arikunto, 2002, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Yoyakarta,
Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Edisi Revisi V, Rineka Cipta, Jakarta
Radar Minggu, Jombang, dari 21 Februari sampai Agustus 2003, dan akar
Kesesatan LDII dan Penipuan Triliunan Rupiah karya H.M.C. Shodiq, LPPI
Jakarta, 2004.
Susanti. 2012. Kendala Radikalisme Dalam Membangun Civil
Society di Indonesia,
Sustrisno Hadi, 1993 Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta,
Syaikh Idahram, 2012, Mereka
Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik; Episode Kebohongan Publik Sakte Salafi
Wahabi, Yogyakarta, Pustaka Pesantren.
Tanwir Y. Muskawi, 1999, Dinamika Pemikiran
Islam di Perguruan Tinggi; Fenomina Sempalan di PTU Sebuah Tantangan Bagi
Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Logor Wacana Ilmu
Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2012, Risalah Ahlussunnah Wal
Jama’ah; dari pembiasaan menuju pemahaman dan pembelaan aqidah–amaliah NU,
Surabaya, Khalista,
Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan
keagamaan, 2013, Pedoman Penanganan Aliran Dan gerakan Keagamaan Bermaslah di
Indonesia, Jakarta, Kemenag RI
Tim Penyusun Puslitbang, 2013. Pedoman tentang Penanganan Aliran
dan Gerakan Keagamaan Bermasalah Di Indonesia, Jakarta, Kemenag-Puslitbang Kehidupan
Beragama
Winarno Surakhmad, 1998, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar
Metode Teknik, Tarsito, Bandung,
[1] Umar, peserta
pengajian LPAI di PP al-Azhar Jumat Legi Januari 2016 jam 15.00
[2] Penjelasan KH
Abdul Hamid Hasbullah saat pengajian rutin LPAI hari Jumat Legi di Rumah Susun
Warga (Rusunawa) Besuk Wirowongso Jember Jalan Cuarah Udang No V Ajung Jember
Jam 14:00 Tanggal 26 Februari 2016
[3] Penjelasan KH
Ahmad Sadid Jauhari saat membaca kitab Riyadus Sholihin pengajian rutin LPAI
Hari Jumat Tanggal 22 Januari 2016, Jam 14:00 tempat Rumah Dinas Kapolres
Jember (AKBP M. Sabilul Alif)
[4]
Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan keagamaan, 2013,
Pedoman Penanganan Aliran Dan gerakan Keagamaan Bermaslah di Indonesia,
Jakarta, Kemenag RI, hlm.69
[5] Miles dan AM. Huberman, Qualitative Data Analysis: A Sourcebook
of
New Methods. (California: Sage Publications, 94)
[6]
Profil LPAI dan Isi Undangan setiap jumat legi/manis,
tempatnya berpindah sesuai dengan permintaan jama’ah yang bersedia ditempati
pengajian LPAI Jember. Tahun 2016.
[7]
Sebutan lain dari pada Langgar adalah Mushalla, surau. Kyai Langgar adalah kyai atau ustadz yang mengajarkan ilmu agama yang
dasar kepada santi-santri mudah, (tingkatan awal belajar agama), seperti
mengajarkan tatacara membaca al-qur’an tingkat jilid (jilid 1-6), tamat jilid 6
melanjutkan ke al-Qur’an mengajarkan tajwid, mengajarkan ilmu akhlaq, ilmu
aqidah dan ilmu fiqih secara menghafal. Kitab rujukan ilmu akhlaq biasanya kitab
akhlaqul lil banin dan taklimul muta’allim. Ilmu aqidah menggunakan kitab
“aqidatul awam” Kifayatul Awam” dan kitab fiqhnya menggunakan Kitab
“safinatunnaja, “sullamuttaufiq”. Kealiman kyai langgar tentu berada dibawah
kemampuan Kyai pengasuh pesantren. Sedangkan ilmu alat (nahwu&sharfu)
diajarkan kepada santri mushalla yang senior, sistem pendidikannya di sore hari
sampai malam hari, sedangkan santrinya tidak menetap, berangkat dari rumah
masing-masing.
[8] Sumber data, Dokumentasi, IMM.
[9]
Ceramah agama dimaksudkan peserta pengajian ingin
belajar Islam, topiknya disesuai dengan momentum atau PHBI, penceramah biasanya
mendatangkan kyai yang ternama di jember maupun luar jember.
[11]
Penjelasan Kyai Hamid saat
pengajian LPAI di Wirolegi Sumbersari Jember tanggal 22 September 2016
[12] Pius A Partanto & M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Bahasa Indonesia.
Surabaya, Arkola, hlm. 648
[13] Al-Ghazali, Mi’yarul Ilm, hln.187
[14] Al-Ghazali, Qanun al-Ta’wil, hln,
126
[15] Al-Ghazali, Qanun al-Ta’wil, hln,
127
[16] Al-Ghazali, Misykat Anwar, hlm, 109
[18] Wawancara dengan peserta pengajian LPAI Jember 28
Oktober 2016.
[19] Lihat kurikulum pendidikan aswaja dan satuan acara pembelajaran
(Silabus, Taksonomi, RPP, Kontrak Pembelajaran) YPNU Jember; UIJ; MKU
[20] Akhir-akhir
ini, kajian IPNU, PMII mengkaji pada isu-isu global; wawasan intektual, politik
dan kebangsaan dan pertambangan yang ada di Jember.
[22] Dokumentasi, 2013, Buku Pedoman Praktik Aswaja Di
Pesantren, Universitas Islam Jember. Secara mendetel kajian khittah Nahdliyyah
dapat dilihat pada SAP dan silabus, RPP dosen setiap tatap muka.
[23] Interview dengan kepala LP2ANU (Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Aswaja An-Nahdliyyah), tanggal 22 Oktober 2016 di Ruangan LP2ANU
(diskusi tentang peringatan hari santri nasional)
[24]Muhammad Thamrin AY, 2016 hari Jumat manis. saat
memimpin sebagai moderator pengajian LPAI di Kantor Puslit Kopi dan Kakao
Jember, Jam 15.00
[25]Observasi
partisipan, peneliti mengikuti acara pengajian sampai selesai, materi ceramah
pengajian Nurul Hidayah, 02 Nopember 2016 jam 18.30. masyarakat Nahdliyyin dari
tahun ketahun membiasakan tradisi dzikiran sebelum berjama’ah shalat fardlu,
sambil menunggu jama’ah, muaddzin membacakan dzikir 20 sifat wajib bagi Allah,
bagi kaum nadliyyin mengetahui aqaid yang 50 merupakan kewajiban yang
dibebankan kepada umat Islam bagi yang baligh dan berakal sehat.
[26]
Pidato
Kapolres (Sabilul Alief) pada Pengajian Rutin Lajnah Pembinaanaan Akhlaq
Islamiyah (LPAI) Jember yang insya Allah diadakan pada: Hari/Tanggal: Jum’at
Manis / 22 Januari 2016 Jam: 13.30 WIB Tempat: Rumah Dinas Kapolres Jember; Jl. Panjaitan / Depan RRI Jember. Sumber data diambil dari Video Rekaman
Peneliti.
[27]
Kapolres Jember
(sabilul Alif) saat mengisi acara LPAI yang dilaksanakan di perumahan kapolres
jember jalan Panjaitan atau depan RRI Jember hari Jum’at Legi tanggal 22 Januari 2016 jama 14.30 WIB.
[28]
Ustadz Umar, Peserta rutin pengajian LPAI Jember,
memberikan penjelasan kepada peneliti saat interview di Baiturrohmah
Kedungpiring Tegalbesar (Pinggir Jalan Besar) sebelah Barat Kantor JTV (Jawa
Post), Jum’at
Manis / 19 Agustus 2016
[29]Azyumardi Azra
sebagai tokoh intelektual UIN Jakarta ‘memperkuat Islam Aswaja mengapa peneliti
mengutip Azyumardi karena secara kebetulan peneliti ditengah-tengah melakukan
penelitian ini mengikuti seminar yang dilaksanakan IAIN Jember dengan pembicara
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, wawasan beliau memberikan sumbangsih kuat bahwa
salafisme-wahabisme-HTIsme dan liberalisme dapat meruntuhkan persatuan umat
Islam dan NKRI. 16 September 2016
[30] Penjelasan Azyumardi Azra, saat kuliah umum
PascaSarjana IAIN Jember, di Aula IAIN Jember, Hari Senin Tanggal 16 September
2016 Jam 14.30
[31] Pak Edy, Pengurus Ikatan Masjid dan Mushalla,
memberikan penjelasan kepada peneliti saat interview di Masjid Raudlatul
Muttaqin, Mumbulsari Jember.
[34] Pengajian LPAI Jumat Manis tanggal 06 Mei 2016 jam 13.30 di Pondok Pesantren al-Azhar
(Rumah KH. Abdul Hamid Hasbullah)
Jl.W.Monginsidi N0. 49 Tegal Besar Jember
[35] Wawancara bersama Rudi Kaswara ketua RW 04 Lingkungan
Cangkring Patrang pada hari sabu sabtu tanggal 9 September 2016 tempat depan
masjid Nurul Hidayah Patrang Jam 15.00
[36] Wawancara bersama Hj. Kasirun Ketua Koordinator
Pengajian RW Ling. Cangkring Patrang. jam 07.00 hari Rabu 21 September 2016, di
rumahnya jalan Jambu RW 004 RT 01
[37] Ediy salah satu Koordinator pengurus Takmir Masjid dan
Mushallah Jember tanggal 23 September di desa Wirolegi Masjid Raudlatussalam
Sumberjo’ peneliti berdiskusi sesuai selesai mengikuti pengajian LPAI di tempat
tersebut.
[38] Wawancara dengan ketua coordinator pengajian RW
kelurahan patrang tanggal 23 September 2016 seusai mengadakan pengajian di
halaman kantor kelurahan patrang.
[40] Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib,
5/248-251
[41] Mukhtashar Ushul al-Fiqh ala Madzhab
Imam Ahmad bin Hanbal, 1/151
[42] Fatawa al-Azhar 10/336.
Dikutip dari media social LPAI dan panitia undangan pengajian LPAI sebagai
bahan / materi pembahasan di LPAI tanggal 28 September 2016
[43] Aswaja NU Center Jatim dan LBM PWNU
Jatim
[44] Interview dengan jama’ah ikatan takmir masjid dan
mushalla Jember (Abdul Wahid-pakem), tanggal 17 Oktober 2016 jam 10:15
[45] Interview dengan ketua Takmir Masjid “Nurul Hidayah”
Patrang Jember tanggal 20 September 2016 di Rumahnya (Jalan Mangga) hari Selasa
jam 20:12
[46]
Rukun Iman ada enam (iman kepada Allah, Malaikat,
kitab-kitab Allah, Rasul Allah, hari akhir, dan qadla –qadar Allah yang baik
dan yang jelek. Sedangkan rukus Islam yang diyakini kaum sunni (Nahdliyyin)
adalah membaca dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat wajib 5 waktu, mengeluarkan
zakat, berpuasa di bulan Ramadlan dan mengerjakan ibadah haji bagi yang
memiliki kemampuan (sehat dan bekal materi).
[47]Dokumentasi
“Keterangan dari
KH. Muhyiddin Abdusshomad, saat mengisi pelatihan dan praktik aswaja di PP al-Azhar
[48] Salah satu isi pengajian LPAI yang disampaikan oleh KH Ahmad Sadid
Jauhari, taggal 23 September 2016 beliau membacakan Kitab Hadis ‘Riyadusshalihin” pada subbab “sikap
kesederhanaan”
[49] KH Abdul Hamid Hasbullah, menambah penjelasan dari
keterangan kyai Sadid, peneliti merekam saat melakukan penelitian.
[50] Yayasan Amalillah mendoktrin pesertanya bahwa menabung
uang dan uang tersebut akan kembali lagi dengan jumlah yang besar, padahal
amalilah ini adalah penipuan yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
[51] Muhammad Thamrin, mebjelaskan masalah yang sedang
dihadapi oleh kaum Nahdliyyin dan umat Islam keseluruhan. Tanggal 23 September
2016
[52] Kaposek Kaliwates, merespon persoalan anak muda yang
terjerumus miras dan narkoba, tanggal 23 September 2016
[53] Dirujuk dari buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi
Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia, Editor: Abdurrahman Wahid, buku ini
dirujuk berkat anjuran informan ketika Tanya jawab pengajian LPAI tanggal 23
September 2016
Sumbersari, hari jumat jam 15:30. Peserta
pengajian LPAI telah mengetahui bahwa kaum Nahdliyyin kalangan politikus atau
orang yang memiliki kepentingan, maka Khittah NU terkadang dijadikan alat untuk
mencapai tujuannya. Tetapi untuk kajian kekeagamaan kaum nahdiyyin Khittah ini
benar-benar di telaah dengan baik sisi aqidahnya, syariahnya dan akhlaqnya
serat hal-hal yang berkaitan dengan konsek kemasyarakatan dan bernegara.
[54]Jengge (patung) adalah tradisi peninggalan nenek muyang dianggap tradisi ritual (menyembah
patung) ala Hindu, budha. Tradisi Jengge ini dijember dipopulerkan oleh kepala Desa Suco
Sumbersari bermaksud dijadikan ritual selamatan Desa Suco setiap tahun, namun
mendapat kritikan dan bantahan yang keras dari tokoh agama Islam bahkan ulama
kabupaten Jember ikut menyelesaikannya, persoalan ini diperkarakan oleh
masyarakat yang kontra sampai pada kepolisian ikut menanganinya. Tetapi kepala Desa Suco dengan bersikukuh tetap
mempertahankannya karena dia ingin tradisi Jengge ini dijadikan ikon
wisata.
[55]KH Muhammad Firjoun Barlaman bin KH. Achmad Shiddiq
Talangsari Jember, catatan /notulen
dokumentasi LPAI, sesi Tanya jawab
problematika ummat kekinian.
[57]
Mari arahkan
fikiran pada proses perjuangan kemerdekaan RI, bangsa Indonesia terjadi
perselisihan yang dahsyat dikalangan rakyat Indonesia, ada yang mengusulkan
Indonesia menggunakan Hukum Islam (Negara Islam) ada yang tidak setuju dengan
penggunaan Hukum Islam, tetapi menggunakan Institusi yang berdasar pada
Pancasila dan UUD 1945. Dengan kecerdasan para ulama dan prestasi ulama
Nahdliyyin akhirnya Indonesia bukan negara Islam tetapi negara Darus Salam,
menjadikan pancasila sebagai dasar negara Indonesia’ para ulama mendelegasikan
KH Wahid Hasyim (wakil kaum Nahdliyyin) mengikuti merumuskan pancasila,
akhirnya pancasila menghasilkan rumusan berdasar dengan nilai-nilai ajaran
Islam, tidak ada yang bertentangan dengan sumber hukum Islam dan tradisi ke
Indonesiaan.
[59]Penjelasan Abdullah Syamsul Arifin, Saat Diskusi pada
Seminar Nasional di Auditorium Universitas Islam Jember (UIJ), Jawa Timur,
Sabtu 14/5/2016. Dihadiri oleh menteri pemuda dan olahraga
(Nahrawi, S.Ag) dan Miftahul Ulum, S.Ag Fraksi PKB DPRD Kabupaten Jember.
[60]Dokumentasi “pengkaderan
aswaja “KH. Muhyiddin Abdusshomad”, (pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (NURIS) Antirogo Jember, dokumentasi
berupa rekaman video, di Pondok Pesantren al-Azhar (KH Abdul Hamid Hasbullah),
saat mengisi pelatihan dan Praktik Aswaja.
[61]Dokumentasi “pengkaderan
aswaja “KH. Muhyiddin Abdusshomad”,, di Pondok Pesantren al-Azhar (KH Abdul
Hamid Hasbullah), saat mengisi pelatihan dan Praktik Aswaja,
[63]Dokumentasi “pengkaderan
aswaja “KH. Muhyiddin Abdusshomad”,, al-diin al-kholish, juz. 1, hal 140
[67]
Dokumentasi “Keterangan dari KH. Muhyiddin Abdusshomad,
saat mengisi pelatihan dan praktik aswaja di PP al-Azhar.
[68] Miftahul Ulum (Ketua
DPC PKB Jember) menjelaskan dalam
acara diskusi mengenai HTI di aula Universitas Islam Jember, Rabu (4/5/2016)
[69]
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013. pasal 1 a. bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, setiap orang wajib
menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain dalam rangka tertib hukum serta
menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Pasal 2; Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.Pasa 3. Ormas dapat mencantumkan ciri tertentu yang
mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[70]Penjelasan
Sabilul Alief (Kapolres Jember) pada pertemuan Forum Komunikasi Pimpinan
Daerah, di DPRD setempat, Selasa 10/5/2016. pertemuan Forkopimda digelar untuk
membahas eksistensi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Kabupaten Jember. Beberapa
waktu lalu, Gerakan Pemuda Ansor berunjuk rasa menuntut penghentian segala
aktivitas HTI (penghentian kegiatan HTI di restoran New Sari Utama, pada Senin
(2/5/2016 di Jember), karena organisasi tersebut menentang Pancasila dan NKRI.
[73] Al-Mawardi 1983.Al-Ahkam as-Sulthoniyah, Bairut:Darul Fikr
[74] Penjelasan Muhammad Thamrin saat Tanya jawab persoalan
umat pengajian LPAI tanggal 23 September 2016. Data ini berada pada rekaman
peneliti
[75] Penjelasan KH
Abdul Hamid Hasbullah, tanggal 28 Oktober 2016
[76] Wawancara dengan Muhammad Ghufron, Kepala MTs al-Azhar
Hari senin tanggal 17 Oktober 2016, bahwa KH. Abdul Hamid Hasbullah memberikan
materi wawasan keaswajaan dilaksanakan dua minggu sekali dalam rangka
pemantapan aqidah aswaja dan membentuk karakter santri, siswa, guru dan
masyarakat yang aswajais, NU tulen.
[77] Observasi pada masyarakat patrang tanggal 23 September
2016, jam 15:00 tempat kantor kelurahan patrang. Acara pengajian rutin semua RW
Kacamatan Patrang. Materinya tentang membaca al-Qur’an, keimanan (aqidah) yang
benar yang berdasar pada aqidah Islam sesuai dengan tuntunan rasulullah dan
dicontohkan sahabat-sahabatnya serta ulama mu’tabarah. Ini secara tidak
langsung berhubungan dengan aqidah yang dirumuskan oleh NU yang tertulis dalam
Khittah Nahdliyyah.
[78] Pusat pengajian rutin Ikatan Masjid dan Mushalla
Jember dipusatkan di Masjid “al-Istiqomah’ perumahan tegal besar berdekatan
dengan pesantren al-Azhar, Masjid ini menjadi perhatian ulama dan dai setempat
karena pernah kelompok Salafi Wahabi ingin menguasainya secara struktur
kepengurusan dan mereka berkehendak untuk merubah tata cara ibadah sesuai
dengan tata cara ibadah salafi wahabi, seperti setelah adzan tidak boleh
berdzikir, setelah shalat berjama’ah dzikirnya diam dan sendiri-sendiri,
shalatnya tampa basmalah, selesai shalat tidak ada berjabat tangan, karena itu,
dianggap bid’ah. Keterangan ini didapat dari Ustadz Mulyadi, salah satu imam
shalat masjid ‘istiqomah’ tanggal 23 Oktober 2016, Jjam 19:05, kebetulan
bersamaan dengan bahasan panitia bagian undangan pengajian LPAI. Narasember
pengajian Ikatan Takmir Masjid dan Mushalla antara lain KH. Abdul Hamid
Hasbullah, Dr. KH. Abdul Haris, M.Ag, dan Kyai NU yang lain.
[79] Karakter kemasyarakatan yang dimaksud adalah santri
(Nahdiyyin) melaksanakan nilai-nilai
Tawazun, Tasamuh, I’tidal; Tawassuth dan amar ma’ruf nahi mungkar.
[80]
Syaikh Dr. Samir Khauli al-husaini; Dosen Global
Uiversitas al-Bairut,; Daurah Aswaja Internasional; penurus cabang Nahdlatul
Ulama Jember di Universitas Islam Jember, selasa Tanggal 01 Nopember 2016.
[82] Manna Khalil al-Qattan, 2001, Mabahits Fi Ulumil
qur’an, terj. Mudzkir. Jakarta, Litera AntarNusa, hlm.420-421
[85]Al-Zarkasyi,
al-Burhan Fi 'ulum al-Quran (Kairo: Mawqi' Maktabah al-Madinah al-Raqamiyyah,
tth), jilid 2.
[86]Akhok
beragama nasrani keturunan teongkhoa menjadi Gubernur Jakarta Non aktif, calon
gubernur Jakarta periode 2017-2021, diduga melakukan penistaan agama, juga
memiliki sikap kurang baik, tidak menunjukkan karakter orang Indonesia
[87] Pernyataan
ketua PBNU, menjadi perbincangan di pengajian LPAI 28 Oktober 2016 di masjid
Raudlatul Muttaqiin, Sumbersari Jember.
[88] Ketua PCNU,
Abdullah Syamsul Arifin, 28 Oktober 2016, jam 18.00, diinterview oleh peneliti
saat beliau memberikan kuliah pada Mahasiswa Pasca IAIN Jember, menurut beliau
pengurus NU Jember memperkarakan saudara Nusron Wahid terhadap pernyataan-pernyataannya
terkait peryataan ahok (calon Gubernur DKI Jakarta), supaya diberhentikan
sebagai pengurus NU, sebelum ide itu sampai pada pusat, Nusron Wahid mundur
sendiri dari pengurus NU karena beliau juga tidak diperbolehkan oleh aturan NU,
dia rangkap jabatan Partai Politik.
[89] Kemah santri ditempatkan di Lapangan Bangsalsari
Jember, diikuti kurang lebih 5.000 santri perwakilan sebagian pesantren yang
ada di kabupaten jember
[90] Dilaksanakan tanggal 25 oktober 2016 di Alun-Alun
Jember mulai jam 18.30. shalawat nariyah ini oleh kaum Nahdliyyin diyakini
bahwa bagi yang membacanya, Allah akan memberikan dan mengabulkan apa yang
menjadi hajat atau keinginan baginya. Karena itu, shalawat ini tidak asing bagi
kaum nahdliyyin, sudah menjadi amalan rutin setiap hari bahkan setiap setelah
shalat 5 waktu bahkan bilangannya ditamhah sebayak-banyaknya setelah shalat
malam (tahajjud) tidak sedikit jumlah kaum nahdliyyin yang mempercayainya
sebagai solusi yang tepat untuk membereskan persoalan dirinya, keluarga,
masyarakat bahkan negara.
[91] Abdul Halim Iskandar saudara Muhaimin Iskandar (Ketua
DPRD Jawa Timur, Legislator dari PKB) sebagai pembuka acara perkemahan di
Lapangan Bangsalsari 21 Oktober 2016
[95] Mastuhu, 1994. Dinamika Sistem Pendidikan
Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren.
Jakarta, INIS, hlm. 6
[96] Azyumardi
Azra, 2000. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta, Logos Wacana Ilmu. Hlm. 111
[97] Azyumardi
Azra., 116
[98] Keterangan ketua MUI Jember Prof. Dr, H. Abdul Halim
Soebahar, MA. Menjelaskan saat menaggapi seputar paham radikal, kelompok
membid’akan kelompok lain, Hari/Tanggal:
Jum’at Manis / 22 Januari 2016 Jam: 13.30 WIB Tempat: Rumah Dinas Kapolres Jember; Jl. Panjaitan / Depan RRI
Jember.
[99] Keterangan dari Ustadz Marwi, Kawan dari pada Ustadz
Heri tanggal 3 Oktober 2016 jam 16:00. Ustadz Heriyudi ditanyai oleh Abdullah
Syamsul Arifin tentan lafat “al” pada lafat al-Hamdulillah’ dengan pertanyaan
al nya al apa? Ternyata dia tidak bisa menjawab, padahal al itu seharusnya
sebagai kyai pendiri pesantren wajib bisa dan memahaminya.
[100]Salah satu prinsip Nahdliyyin dalam Khittah Nahdliyyah
yang dikutip Ahmad Khalid, 2015, Kuliah Aswaja, Kaidah Alussunnah Wal Jama’ah:
dinamika pemikiran dan doktrin, Jember, UIJ Kyai Mojo, hlm.107
Download
Download
1 komentar
The Best 888 Casino Hotels in Waco, TX
Best 888 Casino 익산 출장마사지 Hotels in Waco, TX. 경산 출장샵 Looking for 888 Casino Hotels in Waco? 문경 출장안마 Choose from 구미 출장마사지 the 1,500 hottest 888 Casino 거제 출장마사지 Hotels. Get great rates with
Posting Komentar